Blogger news

Life is like camera. Focus on what's important. Capture the good times. Develop from the negatives. And if things don't work out, just take another shoot

Minggu, 24 Juli 2016

Bisakah kau Lebih lama disini, Buk?



Hai readers,
Apa kabar? Maafkan untuk tak pernah lagi menuliskan manis atau pahitnya kata kata. Eeh, kan alay, sorry. huhu maafkeun.
Yep! Lagi sibuk sibuknya nih kemarin :’) tau dong? Anak semester akhir men. SKRIPSI. Dan yah, jujur saja, sebenernya agak trauma sama Ms. Word, kayak ada skripsi-skripsinya gitchu~ eak!
Nah, sekarang sudah agak longgaran dan agak bersemangat buat nulis lagi. Mihiwww~ jadi sebenernya udah lama banget pengen nulis :( tapi apalah daya incess yang lagi ribet dan cibuks, dan lagi, berita duka, wanita tersayangku sepanjang masa harus kembali setelah dipanggil Allah, semoga ibu bahagia ya disana :’)
Jadi, ini tulisan pertamaku setelah beberapa lama cabs menghilang.

Bisakah Kau Lebih Lama disini, Buk?
Hai buk, rasanya sudah lama sejak terakhir kali aku melihatmu tersenyum, tertawa dan menggelegak karena ulah anak-anak dan pria yang sangat mencintaimu – Ayah. Apa kabar disana? Baik kah? Aku yakin, Allah pasti senang karena hadirmu di sisi-Nya, ya kan? Ah, ceritakan, apakah Allah juga menyampaikan salam salamku untukmu? Aku tak pernah lupa mengrimnya saat setelah aku bersujud pada-Nya, bahkan akupun selalu membisikkan doaku untukmu saat aku mengingatmu. Jangan khawatir, tiap hariku tak ada lelahnya aku mengingatmu. Dan buk, apakah Allah tersenyum padamu? Saat aku menyampaikan rasa terimakashiku padaNya? Terimakasih karena telah membantuku tabah dalam menjalani hari tanpamu? Karena ya, allah mengirmkan malaikat malaikatnya yang lain untuk melindungiku, membahagiakanku, walaupun tak kan pernah seperti bersamamu, Buk.
Buk, bolehkah aku bercerita?
Dengarkan saja.
Buk, maaf ya, kalau Enok sedikit terlambat untuk menepati janji Enok buat bikin ibuk senang. Tapi dengan segala usaha, Enok sudah menepati satu janji dari sekian banyak janji yang Enok buat untuk ibuk. Buk, Enok sudah berhasil sampai sidang skripsi – menyelesaikan revisi, ah doakan anakmu diberi kemudahan untuk proses selanjutnya ya?
Buk, Ayah sama Didi rindu Ibuk. Meskipun mereka terlihat begitu tegar, lebih tegar dari anakmu yang satu ini buk. Maaf ya, Enok masih sering banget nangis, masih sering banget mencerca bagaimana tidak adilnya hidup karena membuatmu jauh dari jangkauan orang orang yang begitu menyayangimu. Masih sering sekali menyalahkan diri sendiri tentang bagaimana kurang berbaktinya anakmu ini semasa kau masih bisa tersenyum bersama kami disini.
Buk, aku merindukanmu.
Buk, tahukah? Melihatkah? Apakah kau mengetahui atau setidaknya apakah Ia menceritakan apa yang Ia lihat? Bukankah Ia yang maha melihat dan mengetahui? Apakah Ia memberitahukan semuanya? Bagaimana aku merindukanmu? Bagaimana aku menangisi kepergianmu? Bagaimana aku berjuang untuk tersenyum setiap kali aku melewati kamarmu? Setiap kali aku tak sengaja mencium wangi tubuhmu? Setiap kali aku mendengar gelak tawamu? Setiap kali aku berharap, kau akan kembali?
Buk, bisakah ibuk lebih lama bersamaku?
Biarkan aku membahagiakanmu, sekuat tenagaku.
Buk, tahukah engkau? Bagaimana sulitnya aku memejamkan mata tiap malamku? Aku pernah bertanya tanya mengapa, dan kini mulai terjawab semua. Karena, ya, setiap kali aku ingin memejamkan mata, aku takut Buk. Aku takut hari itu terulang. Dimana aku harus mendengar kabar yang paling tak ingin didengar siapapun di dunia ini. Kabar tentang perginya seorang wanita paling hebat dalam hidupku. Aku takut akan mendapati hal yang sama saat aku terjaga.
Buk, tahukah engkau? Aku merindukan setiap detail rasa makanan buatanmu. 4 tahun sudah aku sering melewatkan kesempatan untuk menikmati masakanmu karena aku harus tinggal jauh darimu, dan aku ingat betapa aku menatikan hari hari dimana aku akan pulang, mencium punggung tanganmu dan tentu saja, aroma masakanmu. Dan kini, aku tak pernah lagi membayangkan hal yang sama, aku takkan lagi menunggu, karena tak kan pernah ada masakan yang seharum aroma masakanmu, senikmat bumbu cintamu.
Buk, aku merindukanmu. Sangat.
Buk, terimakasih sudah menjadi wanita yang begitu hebat. Begitu kuat. Begitu sabar.
Aku menyayangimu, doaku takkan pernah berhenti.
Dari putri besarmu yang selalu menjadi puti kecil.
Enok.

Senin, 29 Februari 2016

Pesan Terakhir, Untuk Bintang.



Hai Bintang, (entah ini akan kamu baca atau tidak, sebaiknya tetap aku tulis)
Entah ini sudah perpisahan keberapa yang harus kita temui, namun ini mungkin yang benar benar terakhir. Jadi, ini aku tulis untuk sekedar berterimakasih dan meminta maaf.
Terimakasih, kamu bintang yang begitu menyenangkan. Karena pada akhirnya kamu bisa ku jangkau. Meskipun hanya beberapa waktu saja. Terimakasih untuk segala hal yang pernah kamu bagi untuk bisa aku nikmati. Waktu, tawa, sedih, pilu, kesal bahkan benci. Terimakasih untuk bulan bulan penuh kejutan, dimana aku harus tiba tiba kehilangan, dimana tiba tiba kita akan saling menemukan, atau malam malam dimana aku harus menangis sendirian, atau saat aku bisa tersenyum seharian. Terimakasih untuk percakapan penuh tawa bahkan tangis di sela sela tawa kita, atau sekedar malam malam tak terduga yang biasa kamu isi dengan tutorial memasak atau teriakan karena ada kelelawar. Terimakasih untuk hujan yang pernah kita bagi, dingin yang pernah kita permainkan, bahkan untuk dini hari yang tak kita hiraukan, untuk tawa dan keringat dingin saat misi penyelamatan diri di pagi hari yang berkabut. Terimakasih untuk sekedar iseng bernyanyi atau membagi playlist musikmu. Terimakasih untuk perdebatan ‘apel dan tomat’ serta kejadian yang mengawali perdebatan itu, ah aku tak harus menyebutkan alasan kita berhenti dan melihat apel atau benda yang kamu sebut tomat itu kan? Ah sudahlah, kita akan tertawa terbahak bahak nanti, saat kita dipertemukan dengan cara yang lain. Benar, aku tak mau kita bertemu dengan cara yang menjemukan ini lagi, aku hampir merasa sangat lelah dengan drama kecil kita. Aku ingin kita bertemu seperti bincang kecil kita di masa lalu; tanpa sengaja kita bertemu, kau menggandeng wanitamu dan aku akan menggandeng priaku, lalu kita akan menertawakan ‘kita’ di waktu lampau. Menertawakan seberapa bodohnya aku yang begitu menyayangimu dan seberapa bodohnya kamu yang melewatkanku. Dan kita akan menghela nafas panjang, lalu tersenyum, sadar bahwa itu telah lama berlalu.
Maaf, jika perpisahan ini tak pernah menjadi hal yang baik, sebaik saat kita memulainya. Maaf untuk segala kebodohan yang aku lakukan. Maaf karena menahanmu terlalu lama. Maaf untuk bersikap begitu egois. Maaf jika pada akhirnya, kita saling melewatkan. Maaf, aku memiih kebahagiaanku sendiri. Maaf, jika aku membuatmu menepati janji di waktu yang tak seharusnya, maaf jika aku mematahkan sayap sayap bintangku, maaf jika pada akhirnya aku menulis kalimat penuh maaf ini.
Benar, 11 bulan bukanlah waktu yang singkat. Terimakasih untuk waktu panjang yang telah kau berikan. Benar sekali, 11 bulan bukanlah waktu yang singkat untuk semudah itu aku lupakan. Tapi, 11 bulan bukanlah waktu yang singkat pula untuk merasa disia siakan. Mohon maaf, untuk pengucapan kata ‘merasa disia siakan’ yang aku tulis. Aku tahu, bukanlah maksudmu untuk menyia-nyiakan kehadiranku. Aku sajalah yang terlalu cepat datang dan mengganggumu. Mungkin kau tak benar benar melewatkanku. Atau aku juga tak benar benar melewatkanmu. Ah, tapi 11 bulan adalah waktu yang sangat lama untuk pada akhirnya membuatmu sadar jika ada seseorang yang senantiasa membuka tangannya lebar lebar untuk menyambutmu pulang.
Baiklah, sudah ku bilang. Mungkin kita tak di takdirkan untuk saling mengisi. Kita hanya dipertemukan untuk saling berbagi kebahagiaan. Mungkin semesta membuatku datang karena kamu memang membutuhkanku untuk berbagi penatmu karena kekasihmu, dan saat hilang kasihmu pun hilanglah aku – secukup itu tugasku. Oh tolonglah, aku tak seberani ini untuk menulisnya, tapi kamu harus tau, kamu bukan lagi kamu yang dulu. Ini adalah salah satu alasanku kenapa pada akhirnya aku memilih untuk melangkahkan kakiku dan menyuruhmu pergi dariku. Kamu dan aku, sudah jauh sekali dari tujuan awal kita. Maafkan aku jika ini salah, ingatkan aku. Kamu pasti tahu tentang  kata ‘saling’ dalam sebuah hubungan. Dan maafkan aku jika pada akhirnya aku, di hampir akhir pemikiranku, mengalirkan segala upayaku untuk mengingat lagi bagaimana 11 bulanku berlalu. Ku temui banyak kata ‘saling’ yang muncul, namun tak lagi kutemui itu beberapa pekan terakhir kita bersama, aku tak lagi melihatmu dengan tujuan yang sama. Kita pernah berucap untuk saling membahagiakan, agar saat waktunya tiba untuk kita berpisah kita takkan pernah menyesal pernah bersama. Tapi, semua terasa berebeda. Kamu terlalu sibuk membuat dirimu terlihat baik, kamu terlalu sibuk berfikir bagaimana caranya untuk bertahan, kamu terlalu sibuk mengupayakan segala hal, sehingga kamu lupa bagaimana cara membahagiakan. Aku tak pernah melihat kamu yang memaksaku melakukan seuatu, menghendakkan sesuatu sekeras itu padaku, aku tau, itu juga karena salahku, namun tak lagi ku temukan nyaman di dekatmu. Kamu mebuatmu terlihat begitu, berbeda. Kau bukan lagi seseorang yang menjagaku karena ingin membahagiakanku, kali ini kau menjagaku agar tak tersentuh orang lain karena tujuan yang lain.
Maafkan aku, karena dengan sengaja memasukkan orang lain dalam hidupku. Bukankah sewajarnya ku lakukan? Ku beri sedikit pengertian. Sekali lagi, sebelas bulan bukanlah waktu yang singkat untuk merasa disia siakan, dan itu adalah waktu yang sangat lama untuk membuatmu menyadari  betapa berharganya hadir seseorang. Lalu kenapa aku memilih dia? Dia tak butuh waktu selama itu untuk menyadari betapa berharganya aku di hidupnya, itulah alasan mengapa pada akhirnya ia pun begitu berharga untukku dan aku tak ingin menyia nyiakan pria seberharga itu.
Sekali lagi, terimakasih untuk 11 bulan yang penuh kejutan. Aku mohon maaf jika pada akhirnya kita saling melewatkan.
Aku mungkin melewatkan hal yang sangat berharga saat aku melewatkanmu, tapi Tuhan takkan membiarkanku melewatkan sesuatu yang luar biasa tanpa menyiapkan hal yang lebih luar biasa untukku :)
Temukan dia, seseorang yang berharga karena telah membuatmu begitu berharga.
Oh, sungguh, mungkin juga kelalaianku. Sebelas bulan bukanlah waktu yang singkat. Mungkin juga salahku, apakah aku baru berhasil membuatmu merasa berharga di akhir perjuanganku? sehingga kaupun menyadari kehadiranku di waktu ku sudah mulai melepas genggamanku. Jadi maafkan aku jika akupun melakukan kesalahan yang begitu besar, karena lambatnya aku untuk membuatmu menyadari hadirku.
Aku tak lagi ingin mengucap aku menyayangimu, karena aku tahu itu akan jauh kau lemparkan dari telingamu. Tapi setidaknya kamu tahu, bahwa selama sebelas bulan aku bersamamu, aku tak pernah sedikitpun mengurangi kadar perasaan itu.
Terimakasih jika kau mau membaca ini.
Terimakasih.
Selamat jalan, bintang.