Blogger news

Life is like camera. Focus on what's important. Capture the good times. Develop from the negatives. And if things don't work out, just take another shoot

Kamis, 12 Desember 2019

The Smell before Rain and You.

Tiba tiba teringat beberapa petak kenangan yang sempat aku tinggali. Banyak hal manis yang pernah membuatku tersipu dan tersenyum tanpa henti, pun masih hingga kini jika kembali kuselami.
Seharusnya ini menjadi cerita dengan dua tokoh utama, tapi mungkin hanya tentang aku saja, karena tokoh yang lain mungkin sudah lupa atau tak pernah mengingatnya.

Ini kisah tentang percakapan lewat aplikasi berkirim pesan yang sedang digemari pada zamannya, yang kini sudah mulai ditinggalkan, dan mati perlahan. Seperti kisah ini, yang sudah mulai ditinggalkan, tapi sering ku tengok diam diam.

Siang itu hujan rintik, tokoh aku yang tak lain dan tidak bukan, aku sendiri - sedang berdiam di kamar, pulang lebih cepat, tak ada jam kuliah lebih panjang. Membuka dan menyalakan laptop, memainkan deret lagu yang sengaja diberikan oleh tokoh utama pria dalam kisah ini padaku, playlist berisi beberapa lagu pilihan - beberapa favoritnya dan beberapa juga menjadi lagu favoritku.

Aku begitu menyukai aroma yang hadir sebelum dan saat hujan turun, dan sama halnya itu, aku mencintai, tokoh utama pria dalam kisah ini. Dalam genangan perasaan, dan hujan, serta aroma khasnya yang memabukkan. Aku menuliskan sebuah kalimat sebagai status di panel aplikasi BBM "you are the smell before rain..."

Tak perlu waktu lama, kalian bisa menebak, ya, tak salah, tokoh utama pria dalam kisah ini mulai membuka percakapan dengan mengomentari kalimat tersebut.

"I love the smell before rain..." ketiknya. Aku membuka pesan tersebut, ingin kubalas dengan cepat, tapi dia masih mengetik, kemudian hilang, terlihat sedang mengetik lagi. Sepertinya sang tokoh utama pria sedang sibuk mengetik dan menghapus dan mengetik ulang.

Tak sabar akupun membalas pesannya "i love it too! like.. so much!"

Dan dia masih mengetik...

Dan dengan sedikit membubuhkan keberanian, kulanjutkan mengetik pesan lain,

"...and you.."
Aku mengirimnya.

Dan di waktu yang sama saat pesanku terkirim, kuterima pesan lain, yang ia ketik dan ia hapus dan ketik ulang.

"...and you.." katanya.

Aku tersenyum.
Hampir menangis.

"So, you are the smell before the rain that i love.." balasku lagi.

Dia mengetik dengan cepat, dan segera kuterima balasannya. Singkat. Tapi cukup membuatku tersenyum hingga lelap datang.

"You are the rain that i love to be under your guard"

Tak semanis kisah kisah kebanyakan, hanya kisah tentang dua tokoh utama, yang tidak pernah bisa bersama. Hanya pernah saling mengisi tanpa pernah memiliki.

Mungkin lain kali, di waktu yang tepat.

Cerita ini dipersembahkan oleh semesta di dua bagian kota Surabaya yang terbentang- terhubung melalui pengelola pesan digital.
Dikenang di Bali, saat hujan.
Teruntuk sang bintang, tetaplah terang.

Selasa, 04 Desember 2018

TERLEWAT

Aku dan kamu,
dengan tepat
selalu terlewat.

Ada genggam di sela jarimu,
saat aku ingin merindu.
Ada peluk di lingkar pinggangku,
saat kau ingin utuh bersamaku.

Aku tahu,
singgahmu padaku
tak pernah terlalu lama
Atau
Terlalu singkat.

Semua pas, sesuai takaran.

Rindu diracik dengan sempurna,
dan temu selalu jadi pelengkapnya.
Kasih penuh huruhara dibentuk sebegitu rupa,
perpisahan tanpa kata selalu jadi penyempurnanya.

Dari banyak hati yang pernah ku singgahi dan tempati,
hatimu yang paling sering ingin ku kunjungi,
lagi,

Dari sekian banyak temu yang kita sudahi,
aku tetap ingin memulainya lagi.

Dari sekian banyak yang pergi dan kembali,
kamu satu satunya yang tak pernah ku tolak untuk kembali berbagi.

17 Oktober 2018
dari hati yang tak pernah lelah menyambutmu kembali.

Minggu, 24 Juli 2016

Bisakah kau Lebih lama disini, Buk?



Hai readers,
Apa kabar? Maafkan untuk tak pernah lagi menuliskan manis atau pahitnya kata kata. Eeh, kan alay, sorry. huhu maafkeun.
Yep! Lagi sibuk sibuknya nih kemarin :’) tau dong? Anak semester akhir men. SKRIPSI. Dan yah, jujur saja, sebenernya agak trauma sama Ms. Word, kayak ada skripsi-skripsinya gitchu~ eak!
Nah, sekarang sudah agak longgaran dan agak bersemangat buat nulis lagi. Mihiwww~ jadi sebenernya udah lama banget pengen nulis :( tapi apalah daya incess yang lagi ribet dan cibuks, dan lagi, berita duka, wanita tersayangku sepanjang masa harus kembali setelah dipanggil Allah, semoga ibu bahagia ya disana :’)
Jadi, ini tulisan pertamaku setelah beberapa lama cabs menghilang.

Bisakah Kau Lebih Lama disini, Buk?
Hai buk, rasanya sudah lama sejak terakhir kali aku melihatmu tersenyum, tertawa dan menggelegak karena ulah anak-anak dan pria yang sangat mencintaimu – Ayah. Apa kabar disana? Baik kah? Aku yakin, Allah pasti senang karena hadirmu di sisi-Nya, ya kan? Ah, ceritakan, apakah Allah juga menyampaikan salam salamku untukmu? Aku tak pernah lupa mengrimnya saat setelah aku bersujud pada-Nya, bahkan akupun selalu membisikkan doaku untukmu saat aku mengingatmu. Jangan khawatir, tiap hariku tak ada lelahnya aku mengingatmu. Dan buk, apakah Allah tersenyum padamu? Saat aku menyampaikan rasa terimakashiku padaNya? Terimakasih karena telah membantuku tabah dalam menjalani hari tanpamu? Karena ya, allah mengirmkan malaikat malaikatnya yang lain untuk melindungiku, membahagiakanku, walaupun tak kan pernah seperti bersamamu, Buk.
Buk, bolehkah aku bercerita?
Dengarkan saja.
Buk, maaf ya, kalau Enok sedikit terlambat untuk menepati janji Enok buat bikin ibuk senang. Tapi dengan segala usaha, Enok sudah menepati satu janji dari sekian banyak janji yang Enok buat untuk ibuk. Buk, Enok sudah berhasil sampai sidang skripsi – menyelesaikan revisi, ah doakan anakmu diberi kemudahan untuk proses selanjutnya ya?
Buk, Ayah sama Didi rindu Ibuk. Meskipun mereka terlihat begitu tegar, lebih tegar dari anakmu yang satu ini buk. Maaf ya, Enok masih sering banget nangis, masih sering banget mencerca bagaimana tidak adilnya hidup karena membuatmu jauh dari jangkauan orang orang yang begitu menyayangimu. Masih sering sekali menyalahkan diri sendiri tentang bagaimana kurang berbaktinya anakmu ini semasa kau masih bisa tersenyum bersama kami disini.
Buk, aku merindukanmu.
Buk, tahukah? Melihatkah? Apakah kau mengetahui atau setidaknya apakah Ia menceritakan apa yang Ia lihat? Bukankah Ia yang maha melihat dan mengetahui? Apakah Ia memberitahukan semuanya? Bagaimana aku merindukanmu? Bagaimana aku menangisi kepergianmu? Bagaimana aku berjuang untuk tersenyum setiap kali aku melewati kamarmu? Setiap kali aku tak sengaja mencium wangi tubuhmu? Setiap kali aku mendengar gelak tawamu? Setiap kali aku berharap, kau akan kembali?
Buk, bisakah ibuk lebih lama bersamaku?
Biarkan aku membahagiakanmu, sekuat tenagaku.
Buk, tahukah engkau? Bagaimana sulitnya aku memejamkan mata tiap malamku? Aku pernah bertanya tanya mengapa, dan kini mulai terjawab semua. Karena, ya, setiap kali aku ingin memejamkan mata, aku takut Buk. Aku takut hari itu terulang. Dimana aku harus mendengar kabar yang paling tak ingin didengar siapapun di dunia ini. Kabar tentang perginya seorang wanita paling hebat dalam hidupku. Aku takut akan mendapati hal yang sama saat aku terjaga.
Buk, tahukah engkau? Aku merindukan setiap detail rasa makanan buatanmu. 4 tahun sudah aku sering melewatkan kesempatan untuk menikmati masakanmu karena aku harus tinggal jauh darimu, dan aku ingat betapa aku menatikan hari hari dimana aku akan pulang, mencium punggung tanganmu dan tentu saja, aroma masakanmu. Dan kini, aku tak pernah lagi membayangkan hal yang sama, aku takkan lagi menunggu, karena tak kan pernah ada masakan yang seharum aroma masakanmu, senikmat bumbu cintamu.
Buk, aku merindukanmu. Sangat.
Buk, terimakasih sudah menjadi wanita yang begitu hebat. Begitu kuat. Begitu sabar.
Aku menyayangimu, doaku takkan pernah berhenti.
Dari putri besarmu yang selalu menjadi puti kecil.
Enok.

Senin, 29 Februari 2016

Pesan Terakhir, Untuk Bintang.



Hai Bintang, (entah ini akan kamu baca atau tidak, sebaiknya tetap aku tulis)
Entah ini sudah perpisahan keberapa yang harus kita temui, namun ini mungkin yang benar benar terakhir. Jadi, ini aku tulis untuk sekedar berterimakasih dan meminta maaf.
Terimakasih, kamu bintang yang begitu menyenangkan. Karena pada akhirnya kamu bisa ku jangkau. Meskipun hanya beberapa waktu saja. Terimakasih untuk segala hal yang pernah kamu bagi untuk bisa aku nikmati. Waktu, tawa, sedih, pilu, kesal bahkan benci. Terimakasih untuk bulan bulan penuh kejutan, dimana aku harus tiba tiba kehilangan, dimana tiba tiba kita akan saling menemukan, atau malam malam dimana aku harus menangis sendirian, atau saat aku bisa tersenyum seharian. Terimakasih untuk percakapan penuh tawa bahkan tangis di sela sela tawa kita, atau sekedar malam malam tak terduga yang biasa kamu isi dengan tutorial memasak atau teriakan karena ada kelelawar. Terimakasih untuk hujan yang pernah kita bagi, dingin yang pernah kita permainkan, bahkan untuk dini hari yang tak kita hiraukan, untuk tawa dan keringat dingin saat misi penyelamatan diri di pagi hari yang berkabut. Terimakasih untuk sekedar iseng bernyanyi atau membagi playlist musikmu. Terimakasih untuk perdebatan ‘apel dan tomat’ serta kejadian yang mengawali perdebatan itu, ah aku tak harus menyebutkan alasan kita berhenti dan melihat apel atau benda yang kamu sebut tomat itu kan? Ah sudahlah, kita akan tertawa terbahak bahak nanti, saat kita dipertemukan dengan cara yang lain. Benar, aku tak mau kita bertemu dengan cara yang menjemukan ini lagi, aku hampir merasa sangat lelah dengan drama kecil kita. Aku ingin kita bertemu seperti bincang kecil kita di masa lalu; tanpa sengaja kita bertemu, kau menggandeng wanitamu dan aku akan menggandeng priaku, lalu kita akan menertawakan ‘kita’ di waktu lampau. Menertawakan seberapa bodohnya aku yang begitu menyayangimu dan seberapa bodohnya kamu yang melewatkanku. Dan kita akan menghela nafas panjang, lalu tersenyum, sadar bahwa itu telah lama berlalu.
Maaf, jika perpisahan ini tak pernah menjadi hal yang baik, sebaik saat kita memulainya. Maaf untuk segala kebodohan yang aku lakukan. Maaf karena menahanmu terlalu lama. Maaf untuk bersikap begitu egois. Maaf jika pada akhirnya, kita saling melewatkan. Maaf, aku memiih kebahagiaanku sendiri. Maaf, jika aku membuatmu menepati janji di waktu yang tak seharusnya, maaf jika aku mematahkan sayap sayap bintangku, maaf jika pada akhirnya aku menulis kalimat penuh maaf ini.
Benar, 11 bulan bukanlah waktu yang singkat. Terimakasih untuk waktu panjang yang telah kau berikan. Benar sekali, 11 bulan bukanlah waktu yang singkat untuk semudah itu aku lupakan. Tapi, 11 bulan bukanlah waktu yang singkat pula untuk merasa disia siakan. Mohon maaf, untuk pengucapan kata ‘merasa disia siakan’ yang aku tulis. Aku tahu, bukanlah maksudmu untuk menyia-nyiakan kehadiranku. Aku sajalah yang terlalu cepat datang dan mengganggumu. Mungkin kau tak benar benar melewatkanku. Atau aku juga tak benar benar melewatkanmu. Ah, tapi 11 bulan adalah waktu yang sangat lama untuk pada akhirnya membuatmu sadar jika ada seseorang yang senantiasa membuka tangannya lebar lebar untuk menyambutmu pulang.
Baiklah, sudah ku bilang. Mungkin kita tak di takdirkan untuk saling mengisi. Kita hanya dipertemukan untuk saling berbagi kebahagiaan. Mungkin semesta membuatku datang karena kamu memang membutuhkanku untuk berbagi penatmu karena kekasihmu, dan saat hilang kasihmu pun hilanglah aku – secukup itu tugasku. Oh tolonglah, aku tak seberani ini untuk menulisnya, tapi kamu harus tau, kamu bukan lagi kamu yang dulu. Ini adalah salah satu alasanku kenapa pada akhirnya aku memilih untuk melangkahkan kakiku dan menyuruhmu pergi dariku. Kamu dan aku, sudah jauh sekali dari tujuan awal kita. Maafkan aku jika ini salah, ingatkan aku. Kamu pasti tahu tentang  kata ‘saling’ dalam sebuah hubungan. Dan maafkan aku jika pada akhirnya aku, di hampir akhir pemikiranku, mengalirkan segala upayaku untuk mengingat lagi bagaimana 11 bulanku berlalu. Ku temui banyak kata ‘saling’ yang muncul, namun tak lagi kutemui itu beberapa pekan terakhir kita bersama, aku tak lagi melihatmu dengan tujuan yang sama. Kita pernah berucap untuk saling membahagiakan, agar saat waktunya tiba untuk kita berpisah kita takkan pernah menyesal pernah bersama. Tapi, semua terasa berebeda. Kamu terlalu sibuk membuat dirimu terlihat baik, kamu terlalu sibuk berfikir bagaimana caranya untuk bertahan, kamu terlalu sibuk mengupayakan segala hal, sehingga kamu lupa bagaimana cara membahagiakan. Aku tak pernah melihat kamu yang memaksaku melakukan seuatu, menghendakkan sesuatu sekeras itu padaku, aku tau, itu juga karena salahku, namun tak lagi ku temukan nyaman di dekatmu. Kamu mebuatmu terlihat begitu, berbeda. Kau bukan lagi seseorang yang menjagaku karena ingin membahagiakanku, kali ini kau menjagaku agar tak tersentuh orang lain karena tujuan yang lain.
Maafkan aku, karena dengan sengaja memasukkan orang lain dalam hidupku. Bukankah sewajarnya ku lakukan? Ku beri sedikit pengertian. Sekali lagi, sebelas bulan bukanlah waktu yang singkat untuk merasa disia siakan, dan itu adalah waktu yang sangat lama untuk membuatmu menyadari  betapa berharganya hadir seseorang. Lalu kenapa aku memilih dia? Dia tak butuh waktu selama itu untuk menyadari betapa berharganya aku di hidupnya, itulah alasan mengapa pada akhirnya ia pun begitu berharga untukku dan aku tak ingin menyia nyiakan pria seberharga itu.
Sekali lagi, terimakasih untuk 11 bulan yang penuh kejutan. Aku mohon maaf jika pada akhirnya kita saling melewatkan.
Aku mungkin melewatkan hal yang sangat berharga saat aku melewatkanmu, tapi Tuhan takkan membiarkanku melewatkan sesuatu yang luar biasa tanpa menyiapkan hal yang lebih luar biasa untukku :)
Temukan dia, seseorang yang berharga karena telah membuatmu begitu berharga.
Oh, sungguh, mungkin juga kelalaianku. Sebelas bulan bukanlah waktu yang singkat. Mungkin juga salahku, apakah aku baru berhasil membuatmu merasa berharga di akhir perjuanganku? sehingga kaupun menyadari kehadiranku di waktu ku sudah mulai melepas genggamanku. Jadi maafkan aku jika akupun melakukan kesalahan yang begitu besar, karena lambatnya aku untuk membuatmu menyadari hadirku.
Aku tak lagi ingin mengucap aku menyayangimu, karena aku tahu itu akan jauh kau lemparkan dari telingamu. Tapi setidaknya kamu tahu, bahwa selama sebelas bulan aku bersamamu, aku tak pernah sedikitpun mengurangi kadar perasaan itu.
Terimakasih jika kau mau membaca ini.
Terimakasih.
Selamat jalan, bintang.

Jumat, 11 Desember 2015

An Adventure of A Dream: An Unexpected Journey.



Bukankah kita sudah melalui perjalanan yang begitu panjang? Perjalanan yang banyak membuatmu mengenalku lebih jauh, dan membuatku mengertimu sedikit lebih banyak daripada beberapa bulan lalu. Beberapa bulan, iya kita sudah melaluinya lebih dari satu, dua bahkan lebih dari setengah dari 12 bulan yang ada, hampir mencapai angka 10. Tentu saja aku menghitungnya, menghitung detik detik yang ku lewati bersamamu, pentingkah? Lebih dari itu, sangat berharga. Kehadiranmu – ah kau memaksaku menyebutnya kehadiran ‘bayangan’mu begitu sangat berarti. Tak kau sadari kah itu? Banyak sekali kata ‘hampir’ yang hampir terjadi dalam bulan-bulan ini sayang, coba tanyakan padaku, apakah aku lelah? Tentu saja, namun tak ada yang lebih menyenangkan dari lelahnya mencintai dan mempertahankan seseorang.
Aku begitu menikmati detik-detik bersamamu hingga aku kadang lupa aku hanya tamu, bukan benar benar penghuni rumahmu. Aku begitu mencandui hadirmu hingga kadang aku lupa itu hanya bayanganmu, bukan benar-benar dirimu. Ah bahkan text ang menyerupai kehadiranmu saja cukup membuat hariku penuh dengan senyuman. Kau tak perlu benar benar bersamaku untuk membuatku begitu bahagia, cukup pesan singkatmu hadir dan seketika itu kau membahagiakanku.
Akhir-akhir ini sungguh melelahkan, membingungkan, dan seringkali aku tertidur dengan mata masih basah. Aku lelah dengan datang dan perginya kamu. Aku hampir saja berteriak setiap kali kau pergi tanpa sepatah katapun untuk berpamit lalu menghilang dan aku akan berpura semua baik baik saja – melakukan aktifitasku seakan tak ada yang lubang dalam benakku, tersenyum seakan tak ada yang sedang melukaiku. Kemudian kau ber-hai dan tersenyum kepadaku, datang, seperti melupakan kemana perginya dirimu dan berperilaku seperti sehari sebelum kau menghilang, dan aku akan berpura pura ini hal biasa, aku menyambutmu dan mengecupmu – menghangatkan hatimu seperti halnya ini begitu sangat biasa. Tentu saja, bahagiamu adalah jaminan bahagiaku. Jika kudengar hatimu tak sebahagia itu maka tentu dengan hatiku, takkan mampu ku ledakkan kembang api dalam hatiku.
Aku hampir saja menutup lembaran penuh keinginan yang mungkin hanya akan aku baca sendiri dan takkan pernah terjadi saat tiba tiba kau datang dengan muka kuyuhmu, lalu ku sentuh kau membuat apapun yang sedang kau rasakan saat itu juga hadir dalam benakku, aku ingin merasakan sedihmu, lelahmu, beban pikirmu, agar tak hanya kau yang merasakannya – kemudian kau mengulurkan tanganmu, sebuah tiket menuju perjalanan menyenangkan sedang berada dalam genggamanmu, perjalanan bersama bintang-bintang dan hembusan angin malam. Sesuatu yang tak bisa ku tolak, apalagi bersama seseorang yang tak biasanya bisa kusentuh bentuk nyatanya. Aku hampir saja menangis detik itu juga, namun yang mampu tergambar hanya sebuah senyuman – ah mungkin jika kupandangi wajahku malam itu aku akan melihat seorang gadis dengan senyum lebar layaknya telah mendapatkan hal yang begitu ia dambakan. Aku begitu bersemangat – dan kurasakan seluruh badanku bergetar, ada yang bergemuruh dalam dadaku. Ah, kau benar benar mampu membuatku bahagia, dengan apapun caramu.
Masih ku ingat bagaimana harum tubuhmu menyentuh hidungku saat aku berada di balik punggungmu, kerasnya bahumu, bahkan senyuman yang tertutup buff mu malam itu, aku bahkan terpana dengan tatapan matamu meski hanya kulihat dari kaca spion motormu. Aku mengingat bagaimana perjalanan singkat kita penuh dengan alunan musik, tawa di atas motor bahkan teriakan-teriakan kecil karena obrolan yang terhempas angin. Aku masih merasakan kebahagian kecil malam itu disetiap detik aku mengingatnya. Gelapnya malam, dinginnya angin, bisikan bintang bintang, dan harum cemara masih terekam jelas dalam benakku. Seandainya kamu tahu betapa bahagianya diriku malam itu.
Aku menikmati detik-detik yang mungkin takkan pernah terulang, detik dimana aku tanpa rasa takut bisa dengan puasnya memelukmu, mengecup pipimu, mendengarkan semua ceritamu, membiarkan tanganmu memelukku, mengelus rambutku, mencubit hidungku, saling menggenggam, ah dalam singkat waktu itu aku pada akhirnya bisa merasakan hadirmu yang sesungguhnya – seakan akan memilikimu. Aku membiarkan waktu berhenti jika memang diizinkan, aku tak ingin beranjak walaupun dingin begitu menusuk. Aku begitu bahagia hingga aku merasakan sedih di waktu yang sama. Aku pernah memimpikan ini semua sebelumnya, aku pernah menyelipkan semua ini dalam doa doaku yang seakan takkan pernah terkabul – dan tibalah hari ini. Hari dimana aku bisa menghabiskan semalaman yang begitu dingin dalam pelukanmu, dalam alunan merdunya suaramu, dalam hangatnya hembusan nafasmu. Pada akhirnya, bisa kutumpahkan semua yang pernah kusimpan, air mata yang kubendung, tawa yang tak pernah kuperdengarkan, dan sisi yang seringkali aku samarkan, bersamamu – aku menjadi diriku sendiri.
Bahkan hingga detik ini aku masih mengingat lantunan lagu yang mengiang di telinga kita malam itu, aku masih tersnyum saat ku mengingat detik detik itu – sekaligus ku merasa terenyuh, ku tak pernah tau akankah waktu akan tiba tiba datang dan mebawaku menuju bahagia yang sama. Ah entahlah, setidaknya pernah kurasakan waktu indah itu bersamamu. Bahkan aku telah kehabisan kata kata untuk kurangkai menjadi ungkapan bahagiaku, tak ada kata yang cukup pantas untuk ku gunakan dalam melukiskan bagaimana perasaanku malam itu. Malam singkat itu, perjalanan dadakan yang begitu menyenangkan, bermain bersama bintang, tersenyum bersama lampu lampu malam, berbisik diantara hembusan nafas pohon pohon rindang. Begitu membahagiakan.
Ah, inilah rasanya. Kini, saat aku membuka lembaran penuh keinginanku, terlihat mereka semua telah terpenuhi. Sebanyak itu, ternyata terselip namamu disetiap barisnya. Ternyata, semua hal yang kuinginkan, adalah hal yang bisa ku lakukan bersamamu. Aku ingin mendengarkan musik bersamamu, melakukan perjalanan panjang bersamamu, makan di pinggir jalan bersamamu, berdikusi tentang rasi bintang bersamamu, bernyanyi dan berdansa bersamamu, tertawa dan menangis bersamamu, bercerita panjang lebar bersamamu, mengagumi alam bersamamuu, dan hal hal bersamamu lainnya. Baiklah, mungkin ini hanya sebuah kenangan singkat untukmu, tapi untukku – aku takkan pernah bisa melupakan malam itu, seumur hidupku..