‘Ah..’ Aku menghembuskan nafasku. Beberapa hari
ini aku kurang memperhatikan diriku. Bahkan, sejak pagi ini aku tak bisa
memfokuskan pikiranku. Aku banyak melamun, meninggalkan buku yang sedang kubaca
tergenggam sia-sia, membiarkan sarapan pagiku tak termakan dan tersentuh dengan
percuma, tak bersemangat mendengarkan penjelasan yang diberikan dosenku, lalu
siang ini aku hanya membiarkan buku mewarnaiku tetap putih tanpa ada goresan
warna sedikitpun. Aku merutuk kesal, kenapa sih? Lagi-lagi aku harus memikirkan
kejadian itu? Hah? Siapa dia berani beraninya membuatku sebegini
terporak-porandanya? Ku tendang botol minuman yang menghalangi langkahku. Biasanya
sih, kalau di buku teenlit remaja
atau drama-drama Korea tendangan botol itu akan jatuh dan menimpa seseorang,
lalu kita akan berkenalan – bukan, maksudku sedikit terjadi cekcok antara aku
dan tokoh utama pria nan menyebalkan namun menggemaskan, lalu kami akan jatuh
cinta, tidak mendapatkan restu karena kita berbeda kasta, ah atau beda agama,
lalu kita akan menangis di bawah hujan, tokoh pria mengalami kecelakaan,
kehilangan sesuatu yang berharga, lalu dengan heroiknya aku datang dan
memberikan yang aku punya, keluarganya luluh, dan aku menikah dengan tokoh pria
tersebut. Aaaaaah, lagi-lagi aku berkhayal. Tentu saja itu takkan terjadi,
dasar pemimpi.
Aku terseyum,
lupa akan nasib botol yang tadi ku tendang. Aku duduk, terhempas kenyataan. Seminggu
yang lalu, kau datang padaku, mengatakan kau harus mengakhiri semuanya – yang terjadi
antara aku dan kamu, apapun itu namanya. Nah, lagi-lagi aku mengingatmu, yang akhir-akhir
ini mengacaukan hariku. Padahal, kamu kan
cuma seseorang yang datang, bercerita, menggangguku, membuatku tertawa,
membuatku nyaman, membuatku menantikan kehadiranmu, membuatku...jatuh cinta. Bodoh.
Aku mulai mengutuk diriku sendiri, mengeluarkan kata-kata tak pantas untuk ku
dengar.
Kamu, pria dengan semangat yang luar biasa,
yang tak bisa berhenti bergerak kesana-kemari, yang memiliki mata jenaka nan
cerdas – aku tak pernah bisa berpaling sekalinya aku menatap sepasang mata
indah itu, yang memiliki sunggingan senyum tak terlupakan, wangi tubuh yang tak
bisa ku tolak, suara yang selalu terngiang dalam benakku, kamu, perihal yang
selalu kuabadikan dalam tulisanku. Kamu, satu yang harus ku tulis dulu untuk
mejadi milikku, karena tak bisa kumiliki untuk ku sentuh. Kamu, tokoh dalam
setiap rinci detail tulisanku yang akan ku tulis dengan sempurna, yang akan
selalu ku beri akhir bahagia. Kamu, pria dengan seorang gadis di sampingmu –
yang telah membuatku begitu jatuh cinta.
Aku mematahkan hatiku demi orang yang bahkan tak
mengerti arti hadirnya untukku. Aku mengabadikan senyummu dalam bait puisiku,
namun kamu mematahkan hatiku dengan pergi meninggalkanku. Ah malangnya nasibku.
Aku berpikir untuk berhenti menulis tentang kamu,
dan beralih tentang hal lain, namun ku sadari tak ada yang menakjubkan dalam
tulisanku. Seberapa keras usahaku untuk melukis sosok lain dalam imaji ku
mereka tak semenakjubkan kamu. Aku tak lagi menggunakan warna-warna asing dalam
lukisanku, hitam dan putih seringkali jadi pilihanku, membuat sentuhanku
menghilang dari karyaku, ah tidak, bukan sentuhanku yang hilang, tapi kamu.
Sebagaimanapun kau menyakitiku dan sebagaimanapun
aku mendeskripsikanmu dalam baitku, masih ku temui warna merah jambu yang
menghidupkan tulisanku. Bahkan lukaku yang tentang kamu bisa menjadi sesuatu
yang luar biasa untuk ku baca. Dan kali ini, saat aku mulai mengetik nama lain
dalam benakku, hilang sudah merah jambu dalam hatiku. Tak ada cinta, pikirku.
Aku tak bisa menulis dengan sentuhan hitam-putih,
aku butuh kamu untuk mewujudkan pelangi dalam bait puisiku, atau senja dalam
cerita pendekku, atau bahkan galaksi untuk mendampingi bait-bait buku harian
yang akan ku tulis demi mendeskripsikan bahagianya diriku jika memilikimu. Bodohnya,
itu hanya hayalanku, hayalan pelukis kecil di atas bait puisi sepertiku. Ah,
kali ini aku bukan sedang kehilangan tokoh pria favoritku, tapi aku kehilangan kamu. Lihatlah aku kehilangan sentuhan
dalam tulisanku karena aku kehilangan kamu. Kamu yang selalu aku tulis menjadi kamu dalam setiap bait puisiku, atau paragraf
cintaku.