RATU
Aku
sudah lama memandangi senyumya. Aku sudah lama menikmati renyah tawanya. Aku
sudah lama memujanya lewat tatap mataku. Aku sudah lama menyebut namanya di
setiap doa doa kecilku. Aku sudah lama, menantinya.
Malam
ini risauku memecah hening malam yang dingin. Pertahananku goyah. Untuk
sepersekian detik pikiran itu merambah masuk ke otakku. Tidak, tentu apa yang
aku pikirkan takkan pernah aku lakukan. Aku pernah melakukannya, sekali, dua
kali, tiga kali, namun berakhir kecewa. Takkan kusakiti lagi hatiku.
“Yaampun,
masa sih aku harus sms dia. Ga mungkin. No. Nggak. Ga boleh, Ratu.” Aku
berdialog dengan diriku sendiri. “Tapi aku mau, aku cuma pengen tanya kabar. Ah
nggak, nggak lah. Tapi aku mau.” Aku hampir saja menangis. Entah akhirnya
jemariku mulai menyentuh nyentuh layar touchscreen
ponselku, ku ketik nama yang hampir saja beberapa bulan ini aku coba
lupakan, Ksatria, dia teman kuliahku, aku menjatuhkan hatiku kepadanya sejak
pertama aku mengenal dia atau sebut saja senyumnya, tapi ku rasa hatiku takkan
pernah ditangkap oleh hatinya, aku jatuh sendiri. Aku ketik beberapa kata,
kuhapus, ku ketik lagi, ku hapus dan terus menerus seperti itu. Ah entahlah,
aku tau aku takkan pernah berani. Yang aku tau, dia takkan pernah menghubungiku
dulu, dan yag selalu aku tahu aku pernah lebih berani daripada ini dan
mendahului untuk sekedar sms dan menyapanya, tapi aku gagal. Aku menyerah. Dan
aku mencoba melupakan. Tapi nyatanya, malam ini, perasaan itu masih ada.
Risau
ini begitu menggangguku, aku takkan pernah berani untuk menyapanya dan aku tau
ia takkan pernah menyapaku. Aku tau, aku pun tak boleh lagi berpikir sedikitpun
untuk mengenangnya, bahkan memikirkannya harusnya pun aku tak boleh, sudah
seharusnya aku melupakan. Aku berangan, melamun dan tertidur dalam buaian rasa
rindu yang bahkan aku tak tau akan terbalas atau tidak. Aku menanti yang aku
tau tak pernah datang, namun aku tetap menanti.
KSATRIA
Aku
sudah lama menahan ini semua, aku sudah lama mendiamkan ketertarikanku akan
senyumnya, aku sudah lama memendam yang seharusnya aku ungkapkan, aku sudah
lama menutupi rasa yang seharusnya aku berikan, aku sudah lama menantinya.
Malam
ini mataku tak beralih sedikitpun dari layar ponselku, entah mengapa ingin
sekali kulihat namanya keluar di layar ponselku. Sudah berapa lama ya dia
melupakanku, sudah berapa lama namanya tak muncul di layar ponselku, sudah
berapa lama dia tak menyapaku. Ah risau.
“apa
kamu sudah melupakanku, Ratu?” aku berdialog dengan diriku. “apa kamu sudah tak
ingin lagi menyapaku? Atau sekedar bertanya mengenai mata kuliah seperti dulu
lagi? Ah aku ta mungkin meng-sms mu
duluan, untuk saat ini, ngga mungkin Ratu.” Aku sudah tak tahan lagi, beberapa
kali keinginan untuk menghubunginya duluan terlintas dipikiranku, tapi aku tahu
itu takkan pernah ku lakukan. Ratu adalah teman kuliahku, dia seorang gadis
yang menyenangkan, melihatnya tertawa seringkali membuat hatiku membuncah, dia
pernah mengatakan perihal hatinya kepadaku, tapi aku belum siap. Aku
mendiamkannya, tapi hatiku menumbuhkannya, aku menikmati saat ia mencari cari
sesuatu untuk sekedar menghubungiku lewat sms, aku menikmati saat aku menemukan
ia juga terjaga saat aku bangun untuk shalat malam dan mengajaknya turut serta
walaupun semua itu berlalu lewat sms. Tapi kurasa aku menyakitinya, dia pergi,
aku hanya bisa menanti suatu saat nanti dia hadir kembali, saat ini rasa itu
begitu besarnya, aku ingin sekali mendapat sapamu, Ratu. Tapi aku tau, kau
takkan melakukan itu saat ini, aku mencoba merelakan. Namun nyatanya, aku masih
berharap.
Risau
ini begitu menggangguku, tak bisa ku tahan lagi, aku berdoa untuk kehadirannya,
doa yang seharusnya tak aku senandungkan, aku tau bahkan aku tak boleh meski
hanya sekedar memikirkannya, apalagi menginginkannya. Lalu aku berangan,
berandai andai dan tertidur dalam buaian rasa rindu yang aku endam sendiri
sakitnya. Aku tau kau takkan hadir lagi, namun aku menanti, masih menanti
sebuah ketidak mungkinan yang selalu aku semogakan.
KSATRIA dan RATU
Pagi
itu udara pagi sangat menyegarkan, matahari bersinar sekan mengikis rasa risau
dua hati yang saling menanti, keduanya tetiba saja sudah berada di lantai yang
sama. Terlihat keduanya sedang berbincang dengan masing masing temannya.
Sekilas
dan sesekali ditengah obrolannya ratu menoleh kearah Ksatria, dilihatnya
Ksatria sedang tersenyum dan tertawa
sesekali, Ratu tertegun, “ah senyum itu, kapan sih tak menjatuhkanku.” Lalu
dengan enggan Ratu kembali kedunianya, berbincang dengan teman temannya. Ksatia
menoleh kearah Ratu, ia lihat Ratu sedang tertawa renyah dan asyik bercanda,
Ksatria berbisik lirih, “kapan kah kamu bisa berbagi tawa itu bersamaku, Ratu.”
Dan dengan sedikit alot ia kembali ke dunianya sendiri. Setelah beberapakali
saling mencuri pandang dan menyipan senyuman, tatapan mata keduanya
dipertemukan, senyum simpul akhirnya tak bisa mereka elakkan. Mereka saling
menyapa, saking tersenyum, saling memandang, namun tak lama, mereka kembali
memisahkan tatap mereka.
“Haruskah
penantian ini aku lanjutkan atau memang sudah saatnya aku hentikan?” Ratu
menghembuskan nafasnya dan menjauhkan tatap matanya dari Ksatria, sedetik
kemudian ia lihat Ksatria tak lagi menatapnya.
“Entah
haruskah aku melanjutkan rasaku dan menantinya atau harus aku lepaskan semua
ini untuk aku tinggalkan.” Ksatria mengalihkan pandangannya dari binar raut
muka Ratu, menunduk sedih.
Tiba
tiba Ratu merasakan sentuhan di pundaknya, Ratu tersenyum. “hai Ratu, ayo
sarapan.” Sapa suara berat lelaki kepada Ratu. “ayo, aku laper.” Ratu mulai
meraih tangan lelaki itu, tersenyum, dan menggandengnya. Raden mencubit lengan
Ratu gemas, “sayang ngelamun apa tadi?” katanya. “ah enggak.” Kata ratu malu
malu. ‘ini jawabannya, seharusnya memang
aku tak lagi menanti seorang yang tak bisa kunanti, aku sudah memiliki dia yang
selalu ada, dan seharusnya aku juga selalu ada.’ Ratu tersenyum, ia
menengok kearah Ksatria, dan tekadnya membulat, untuk tak lagi menanti.
Ksatria
sedang menoleh kearah Ratu saat ia melihat Raden datang dan menyentuh pundak
Ratu,ia melihat senyum di wajah Ratu, ia tau, itu alasan Ratu berhenti
mencarinya, itupun juga alasannya memendam rasa rindu kepada Ratu. ‘aku tau, ia takkan lagi menanti, tak
seharusnya juga aku menanti, aku akan berhenti. Aku rela.’ Ksatria
tersenyum, dipandanginya Ratu dan Raden yang sedang berjalan beriringan,
tekadnya membulat, ia akan melupakan dan berhenti menanti.
Seandainya
mereka tau, mereka saling menanti, namun nyatanya mereka tak ditakdirkan untuk
saling memiliki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar