Sejauh apapun aku melangkah, nyatanya aku
tetap kembali. Sekeras apapun aku menghindar, nyatanya jeratmu selalu
mendapatkanku. Sekuat tenaga aku mencoba pergi, nyatanya jalan itu tetap menuju
padamu. Aku sudah mencobanya, membencimu, melupakanmu, menghapus bayanganmu,
berpura pura tak mengingat namau, berpura pura tak mengenal siapa kamu, tak ada
yang berhasil kulakukan. Yah, semuanya hanya berakhir dengan kepura puraan. Kau,
sekeras apapun aku mencoba mengusirmu dari hatiku, otakku bahkan hidupku,
sepertinya semesta tak pernah merestui usahaku – karena kau muncul dalam
impianku, entah dalam lelapku atau saatku terjaga mimipiku masih menyerukan
namamu. Aku menyerah, menyerah untuk menjauhkanmu dari hidupku.
Kau yang harusnya kuusir pergi dari hidupku
nyatanya selalu kuundang lagi dan lagi. Mungkin ini cukup untuk membuatmu
menyebutku sebagai wanita yang egois. Karena dalam segala sisi pun aku memang
menahanmu, bahkan sekalipun aku menyuruhmu pergi nyatanya aku tetap ingin
menarikmu kembali. Tapi tidak untukku, aku tak pernah menjadi egois. Aku tak
pernah meraih apapun dari sesuatu yang mungkin siapa saja bisa menyebutnya
keegoisanku karena tak membiarkanmu pergi. Aku hanya ingin menikmati waktu
singkat yang kupunya bersamamu.
Ah, aku selalu terlampau percaya diri. Menyuruhmu
pergi? Bahkan aku tak benar benar tau apakah kau pernah tinggal, bodohnya aku. Yah,
bagaimana bisa aku mendeklarasikan kehadiranmu jika setengah dirimu saja tak
pernah benar benar bersamaku? Bagaimana bisa aku seegois itu menyebut kau
tinggal di hatiku sedangkan hatimu saja tergenggam di tangan yang bukan
milikku? Kau milik orang lain. Aku tak pernah benar benar memiliki hadirmu,
bahkan bayanganmu saja dengan susah payah aku meraihnya. Egoiskah aku?
Egoiskah aku?
Egoiskah aku jika menjadi wanita yang
selalu ingin menjadi seorang pertama yang menghapus air matamu, menyudahi
sedihmu, memeluk gundahmu bahkan jika semua itu akibat kekasihmu? Egoiskah aku
jika aku menahan air mataku, mencoba membantumu, meringankan bebanmu saat
amarah sedang melanda kamu dan kekasihmu? Mungkin kamu tak pernah tahu, dilemma
besar apa yang selalu berkecamuk dalam hatiku saat kau sedang menumpahkan
amarahmu kepada kekasihmu melalui cerita cerita di pesan singkatmu – aku ingin
meringankan bebanmu dan membantumu, menyudahi rasa kesalmu mungkin kepedihanmu,
padahal jauh di lubuk hatiku aku sedang melukai hatiku sendiri. Aku sedang
menyakiti diriku sendiri. Bagaimana bisa aku menjadi egois dengan keadaan
seperti itu? Tentu aku egois, dengan cara itu aku membuatmu tetap tinggal
bersamaku. Dengan cara melukai hatiku sendiri, aku menahanmu.
Berkali kali aku dengar teman temanku
berkata mencintaimu sama saja melukai diriku sendiri. Nyatanya lukaku yang
membuatmu tak pergi. Dengan menghapus lukamu – sekalipun itu menyakitiku, telah
membuatmu bertahan lebih lama disisiku. Ingatkah? Aku pernah memohon untuk
sekali saja menjadi seorang wanita egois? Lupakan. Lupakan hal itu. Aku takkan
memintamu untuk melepas pelukanmu dari wanita itu. Aku takkan meminta hatimu
untuk kupeluk, aku takkan berharap bisa memilikimu. Tapi biarkan, aku menikmati
waktu yang kupunya bersamamu. Aku tahu, aku hanya tamu dalam rumahmu, yang
terlamapau merasa nyaman hingga enggan melangkah pergi. Aku sadar kapanpun kamu
atau parahnya, wanitamu, bisa mengusirku pergi. Cepat atau lambat, entah aku
entah kamu yang akan melangkah pergi. Tapi untuk kali ini saja, selagi aku
masih sanggup menahan luka hatiku untuk mendengar ceritamu, selagi aku sanggup
tersenyum walaupun ada air mata yang kutahan, selagi aku sanggup untuk
menyebutmu hanya sekedar teman walaupun aku mencintaimu lebih dari yang aku
tunjukkan, selagi aku mampu menahan keeogisanku untuk memilikimu, biarkan aku
menikmati waktuku bersamamu walau tak pernah kupeluk nyatamu bahkan setengah
bayanganmu :’)
Bagaimana bisa aku menjadi seorang wanita
yang egois? Bahkan saat kau sedang megeluhkan gundahmu, amarahmu pada wanitamu
yang ku mampu hanya menenangkanmu, tanpa pernah kucoba untuk membuatmu melepas
genggamanmu pada kekasihmu. Aku tak semampu itu, aku tak setega itu, aku takkan
membiarkanmu terluka, aku takkan tega membayangkan kau semakin bersedih jika ia
lepas dari genggammu – meskipun jauh dalam hatiku, aku bersumpah jika aku yang
ada di genggamanmu tak kan kubiarkan telapakmu berdarah oleh sentuhku, aku bisa
menjadi lebih baik dari kekasihmu. Tapi untukmu, aku tak bisa menjadi seegois
itu...
Dari seorang
wanita paling munafik, karena membiarkan dirinya sendiri terluka dan berpura pura
tak kenal rasa luka hanya untuk memeluk seorang pria yang terluka karena
wanitanya.
Aku mencintaimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar