Terimakasih.
Iya, terimakasih. Sepertinya sudah saatnya
aku harus mengucapkan terimakasih untuk semuanya. Seringkali aku membatalkan
niatku untuk berterimakasih padamu, karena aku masih berharap untuk menjadi
bagian ceritamu. Sahabatmu. Seringkali aku masih berharap bisa menyebutmu
sebagai seorang sahabat tanpa canggung, tanpa harus menggigit bibir karena
harus mengingat pahit ‘status’ masalalu. Ah tapi sepertinya aku harus
memupuskan harapanku. Kau berbeda. Jaaaaaauh berbeda dari seorang yang ku kenal
lalu. Aku tak lagi bisa membagi ceritaku, aku tak sebebas dulu memburu rindu,
kamu bukan lagi orang yang mau merangkulku untuk tenangkan emosiku, bahkan mungkin
kamu sudah lupa bagaimana lirik lagu ‘hamtaro’ favoritku.
Mungkin semua salahku, terlalu menyakitimu.
Bukan maksudku seperti itu. Aku takkan banyak memburumu dengan penjelasanku
karena aku tahu itu tak lagi penting untukmu. Namun biarkan aku berterimakasih,
terimakasih pernah menjadi bagian ceritaku. Menjadi seorang yang pernah
mengusap air mataku. Seorang yang pernah terburu buru pergi menjemputku ke kos
dengan tangan masih penuh sambal hanya karena mendengar suara parauku menangis
di ujung telpon. Seorang yang pernah memelukku dalam rinai hujan. Seseorang yang
rela berbagi sepiring nasi denganku. Seorang yang berlari dan tergesa gesa
bersamaku saat sedang asyik makan di dekat danau hanya karena penjualnya
terburu buru pergi menghindari kejaran satpol PP. Pria yang diam saja saat aku
gemas dan menggit kuli tipis lengannya. Pria yang pernah benar benar
menyayangiku.
Terimakasih untuk semua waktu yang pernah
kau berikan.
Terimakasih untuk semua sedih senang tawa
tangis, yang pernah kita bagi.
Terimakasih pernah menjadi seorang yang mau
kugenggam dan kuremas jemarinya saat gundah menghampiriku.
Terimakasih untuk buku, coklat, bunga,
warna warni peralatan menggambar, mie kuah, bakso, kulit ayam Mbak Supik dan
jalan jalan malam kita.
Aku takkan lagi mencegahmu untuk berlari,
karena memang seharusnya kamu berlari. Pergilah, berbahagialah. Jangan jadikan
aku seorang yang selamanya membayangi kebahagiaanmu, aku bukan seorang yang pantas
untuk berjalan seiring denganmu. Untuk segala yang pernah ku berikan dan yang
pernah kau ambil dariku, aku mengikhlaskannya sepenuh hatiku. Untuk segenap
hari hariku bersamamu, aku ucapkan syukur sebesar dunia ini mampu kutapaki
kakiku untuk berjalan. Untuk setiap hal yang tak mampu ku berikan, termasuk rasa
yang selalu ingin ku berikan – rasa yang selalu kucoba belajar untuk kutumbuhkan,
aku mohon maaf. Percayalah, jauh dalam hatiku, aku menyayangimu sebagai seorang
yang ingin selalu aku ajak berbagi. Ku harap, aku bisa selalu menyebutmu,
Kakak, sahabat, teman, dan inyoku. Lebih dari itu, aku tak pernah bisa
menjajikan apapun.
Terimakasih telah membiarkanku hadir,
mengacaukan apa yang semesta ingin jalankan untukmu.
Aku merindukan
sosok teman sepertimu.
Jika ku boleh
meminta sesuatu, aku berharap aku tak pernah merubah status pertemanan kita
menjadi status lain jika pada akhirnya aku harus kehilangan orang sepertimu.
Jika aku boleh
kembali dan memperbaiki semuanya, aku ingin kembali dimana saat kita saling tak
canggung menyebutkan nama orang yang sedang mengisi hati kita. Bukan aku, bukan
kamu.
Jika aku
diizinkan untuk memohon dan kan kau kabulkan, aku mohon jadilah temanku, lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar