Bagaimana
bisa hati yang ku jaga agar tak banyak menuntut ini menghianatiku? Menghianati pemilik
yang selalu membisikkan kata sabar? Menghianati otak yang selalu ingin dia tak
terlalu berdebar karena marah? Bagaimana
bisa, saat logikaku berkata ‘lupakan, dia
bukan milikmu’ namun hatiku selalu berkata ‘bahkan sekedar senyumnya, aku tak mampu melupakan’. Bagaimana bisa
hatiku ingin memiliki seseorang yang otakku telah mengetahui ia sudah ada yang
memiliki?
Malam ini
bukan gundah saja yang ku rasakan, air mata yang ku cegah untuk jatuh pun tak
terhindarkan mengalir begitu saja. Aku merindukannya. Sosok yang akhir akhir
ini namanya sering menghiasi layar ponselku. Yang beberapa hari lalu harus ku
relakan dan harus ku usir dari kehidupanku – tidak, aku tak mengusirnya, aku
hanya menyuruhnya pergi, dan membiarkan hatiku menghempaskan rasa yang
seharusnya tak pernah ada, rasa yang seharusnya tak hadir di antara aku dan
dia, dia dan kekasihnya.
Berkali
kali aku berkata, aku harus melupakannya.
Pertemanan
yang seharusnya tak kunodai dengan perasaan kecil bernama cinta, harus ku
relakan menyakiti diriku dengan hadirnya rasa itu. Seharusnya aku tak memberinya
celah untuk hadir, perasaan itu harusnya jauh dari hatiku. Seharusnya tak ku
biarkan hatiku jatuh begitu saja, sebelum aku tahu akan benar benar ada yang
menangkapnya. Namun bodohnya, aku menjatuhkannya, tanpa alasan, begitu saja,
meskipun aku tahu dia takkan menangkapnya. Karena, dia sudah menggenggam,
memeluk sebuah hati yang begitu berharga. Lalu? Apa yang aku harapkan? Namun,
cinta tak pernah megenal akan jatuh kepada siapa hatinya, ditangkap atau dibiarkan
terhempas, cinta akan tetap menjadi seusatu yang menyenagkan. Ya, aku
tersakiti, namun aku juga merasa terberkati.
Entahlah,
aku tak benar benar merasa hatiku terhempas begitu saja, ada yang membuatnya
tak benar benar pecah belah karena tak ditangkap. Karena, ia membuatnya
terbang. Terbang begitu tinggi. Aku tak pernah tahu, mantra apa yang ia
gunakan, sehingga hatiku bisa terbang dan mengambang indah di udara. Yang ku
dengar, ia selalu berbisik, dia takkan membiarkanku jatuh, dia selalu di
belakangku. Aku percaya, benar benar percaya. Tak banyak yang ku harapkan, tak
banyak yang ku tuntut. Tak pernah ada alasan untukku menuntutnya melepaskan
pelukan pada hati yang sudah ia peluk. Bahkan tak pernah terpikirkan olehku
untuk merebut posisi hati itu dan menggantinya dengan hatiku. Karena, bahkan
tanpa ia minta, tanpa ia curi dengan sengaja, hatiku sudah menjadi miliknya,
dan aku rela. Rela, sekalipun hatiku hanya dibiarkan terbang tanpa pernah ia
peluk.
Bahkan seandainya
ia pergi, aku akan rela meskipun nantinya hatiku jatuh dan pecah berkeping
keping, karena aku tahu, dia pernah ada.
Namun,
kali ini, entah perasaan apa yang begitu hebatnya memporak porandakan hatiku. Mengacaukan
semua pertahanan yang aku bangun. Menghancurkan semua dinding batasan yang
selama ini membatasi hatiku. Aku, ingin memilikinya. Memiliki hatinya, aku
ingin memeluk hatinya. Tolong. Biarkan aku menjadi egois, sekali saja :’)
Wanita yang hatinya berkhianat dari logikanya.
Wanita yang hatinya bersihkeras untuk bertahan, meskipun
logikanya tahu – bahwa hati (pria) itu takkan pernah bisa untuk dipeluk olehnya.