Hari ini di tengah hujan yang mengguyur manis tiba-tiba aku
ditarik menuju sebuah memori, dimana aku dan kamu sedang duduk bersanding
berdua di atas sebuah bangku di tengah toko sepatu. Bukan tempat yang lumrah
untuk berbincang. Di tengah puluhan bahkan ratusan pasang sepatu, kita saling
bertukar kata. Sesekali ku curi tatapan ke arah wajahmu yang sekiranya pernah
dan kadang-kadang masih menghiasi lamunan liarku, mimpiku, bahkan tiba-tiba muncul
saat ada adegan romantis di serial drama Korea yang membuatku tersenyum
sipu-sipu. Kamu pujaan hatiku. Ah tapi aku bukan kekasihmu.
Aku tersenyum
kecil mengingatnya. Bukankah semesta sangat baik kepadaku? Semesta mengirimkan
hujan untuk menjebak kamu dan aku di tengah toko sepatu. Aku sedang tersenyum memandangimu
saat kamu sedang asik memainkan ponsel-mu,
lalu aku memalingkan wajahku takut kau menangkap basah aktivitas ilegalku. Aku masih
penggemarmu. Aku menikmati setiap detik yang semesta sediakan kepadaku melalui
hujan derasnya siang itu. Aku dengan riang berbincang denganmu, tentu saja
takkan kusia-siakan waktu yang berharga itu. Kamu tahu? Aku bahagia. Aku dengan
sangat terpesona mendengarkan setiap kata yang kamu ucapkan, sampai pada
akhirnya aku mendengarkan hal yang sedikit menggeser rasa syukurku. Aku sedikit
kaku, mungkin cemburu, tapi tentu itu salahku. Bukankah kau memang bukan
milikku?
Kau bercerita tentangnya, yang selalu baik di matamu. Lalu
ada dia yang lain, yang membuatku semakin tahu, aku hanya seseorang yang berada
jauh di luar kehidupanmu. Senyumku memudar,itu alasanku memalingkan wajahku ke
arah sepatu-sepatu yang tertata rapi di sebelah kiriku. Aku tarik dalam-dalam
nafasku, aku bersiap kembali untuk memainkan peranku sebagai temanmu, bukan
seseorang yang sangat menginginkanmu. Semua itu sudah berlalu seminggu, kini
hujan kembali datang bersamaku. Tapi kali ini aku sedang sendiri, menggulung
kakiku di bawah selimut hangat warna biru favoritku. Tiba-tiba aku mengingatmu
dan semua pasang sepatu sore itu. Ada yang datang menghampiriku, seakan
menyadarkanku, mungkin seharusnya aku merelakanmu.
Malam ini pula semesta sedang ingin menyadarkanku tentang
satu hal dari memori yang ia mainkan dalam benakku. Sore itu kita sedang
berjalan dari satu toko ke toko yang lain, dari satu rak ke rak yang lain, memilih
satu sepatu dan menimbang-nimbangnya. Di sebuah rak ada kalanya kita berhenti
untuk melihat lebih jeli kearah sepatu yang tak sengaja menarik lensa mata kita
untuk memperhatikannya, di rak yang lain kita hanya mengabaikan sepatu sepatu
yang tertata rapi diatasnya, adakalanya kita berhenti karena ada satu sepatu
yang benar benar kita inginkan namun tak bisa kita miliki – terlalu mahal,
kekecilan dan kebesaran, ada pula saatnya kita menemukan yang pas di kaki kita
namun kita tak benar benar menginginkannya, dan mungkin pada akhirnya kita
menemukan yang pas di mata dan nyaman di kaki kita. Dari semua perjalanan kita,
yang kita inginkan hanya mendapatkan satu sepatu yang pas dan nyaman untuk
dikenakan, membuat kita tersenyum dan bangga memilikinya.
Aku tahu, selayaknya sedang memilih sepatu, manusia punya
hak untuk memilih pasangan hidupnya. Dan itu yang menyadarkanku. Mungkin kamu
memang menarik hatiku dan aku benar benar menginginkanmu, namun aku tak bisa
memilikimu. Aku tak bisa memaksakan kakiku mengenakan sepatu yang terlalu kecil
karena itu akan menyakitiku, aku tak bisa memilih sepatu yang terlalu besar
untuk aku kenakan di kakiku karena ia akan sering terlepas dan mungkin aku akan
kehilangan sepatuku, dan aku takkan bisa memilih sepatu yang terlalu mahal
karena aku tak mampu membelinya. Seperti itu, semenarik apapun kamu untukku aku
harus menyadari kamu bahkan tak mampu untuk aku miliki, bukan karena kamu akan
menyakitiku atau hilang, namun karena aku tak semampu itu untuk mendapatkan
kamu yang seberharga itu. Dan aku takkan pernah mejadi yang pas untukmu, karena
aku hanya salah satu sepatu di sebuah rak yang hanya kamu lewati tanpa kamu
lirik, bukan karena aku terlalu kecil atau terlalu besar untukmu, tapi aku
bahkan bukan sepatu yang sedang kamu cari.
Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan, aku takkan
mengatakan manusia selayaknya sepasang sepatu, karena sepatu hanyalah sepatu
jika tak ada kaki yang mengistimewakan. Manusia lebih mirip dengan kaki dan
sepatu yang ia kenakan. Mungkin mata bisa menang memilih, namun kaki yang tetap
akan menentukan. Mungkin manusia bisa ditipu oleh mata, namun hati tetap yang
akan menemukan.
Dari sepatu yang tak
pernah kamu inginkan,
semoga sepatu yang kamu kenakan bisa selalu membuatmu nyaman.
semoga sepatu yang kamu kenakan bisa selalu membuatmu nyaman.