Blogger news

Life is like camera. Focus on what's important. Capture the good times. Develop from the negatives. And if things don't work out, just take another shoot

Jumat, 27 November 2015

KAMU. K-A-M-U.



‘Ah..’ Aku menghembuskan nafasku. Beberapa hari ini aku kurang memperhatikan diriku. Bahkan, sejak pagi ini aku tak bisa memfokuskan pikiranku. Aku banyak melamun, meninggalkan buku yang sedang kubaca tergenggam sia-sia, membiarkan sarapan pagiku tak termakan dan tersentuh dengan percuma, tak bersemangat mendengarkan penjelasan yang diberikan dosenku, lalu siang ini aku hanya membiarkan buku mewarnaiku tetap putih tanpa ada goresan warna sedikitpun. Aku merutuk kesal, kenapa sih? Lagi-lagi aku harus memikirkan kejadian itu? Hah? Siapa dia berani beraninya membuatku sebegini terporak-porandanya? Ku tendang botol minuman yang menghalangi langkahku. Biasanya sih, kalau di buku teenlit remaja atau drama-drama Korea tendangan botol itu akan jatuh dan menimpa seseorang, lalu kita akan berkenalan – bukan, maksudku sedikit terjadi cekcok antara aku dan tokoh utama pria nan menyebalkan namun menggemaskan, lalu kami akan jatuh cinta, tidak mendapatkan restu karena kita berbeda kasta, ah atau beda agama, lalu kita akan menangis di bawah hujan, tokoh pria mengalami kecelakaan, kehilangan sesuatu yang berharga, lalu dengan heroiknya aku datang dan memberikan yang aku punya, keluarganya luluh, dan aku menikah dengan tokoh pria tersebut. Aaaaaah, lagi-lagi aku berkhayal. Tentu saja itu takkan terjadi, dasar pemimpi.
 Aku terseyum, lupa akan nasib botol yang tadi ku tendang. Aku duduk, terhempas kenyataan. Seminggu yang lalu, kau datang padaku, mengatakan kau harus mengakhiri semuanya – yang terjadi antara aku dan kamu, apapun itu namanya. Nah, lagi-lagi aku mengingatmu, yang akhir-akhir ini mengacaukan hariku.  Padahal, kamu kan cuma seseorang yang datang, bercerita, menggangguku, membuatku tertawa, membuatku nyaman, membuatku menantikan kehadiranmu, membuatku...jatuh cinta. Bodoh. Aku mulai mengutuk diriku sendiri, mengeluarkan kata-kata tak pantas untuk ku dengar.
Kamu, pria dengan semangat yang luar biasa, yang tak bisa berhenti bergerak kesana-kemari, yang memiliki mata jenaka nan cerdas – aku tak pernah bisa berpaling sekalinya aku menatap sepasang mata indah itu, yang memiliki sunggingan senyum tak terlupakan, wangi tubuh yang tak bisa ku tolak, suara yang selalu terngiang dalam benakku, kamu, perihal yang selalu kuabadikan dalam tulisanku. Kamu, satu yang harus ku tulis dulu untuk mejadi milikku, karena tak bisa kumiliki untuk ku sentuh. Kamu, tokoh dalam setiap rinci detail tulisanku yang akan ku tulis dengan sempurna, yang akan selalu ku beri akhir bahagia. Kamu, pria dengan seorang gadis di sampingmu – yang telah membuatku begitu jatuh cinta.
Aku mematahkan hatiku demi orang yang bahkan tak mengerti arti hadirnya untukku. Aku mengabadikan senyummu dalam bait puisiku, namun kamu mematahkan hatiku dengan pergi meninggalkanku. Ah malangnya nasibku. Aku berpikir untuk berhenti menulis tentang kamu, dan beralih tentang hal lain, namun ku sadari tak ada yang menakjubkan dalam tulisanku. Seberapa keras usahaku untuk melukis sosok lain dalam imaji ku mereka tak semenakjubkan kamu. Aku tak lagi menggunakan warna-warna asing dalam lukisanku, hitam dan putih seringkali jadi pilihanku, membuat sentuhanku menghilang dari karyaku, ah tidak, bukan sentuhanku yang hilang, tapi kamu.
Sebagaimanapun kau menyakitiku dan sebagaimanapun aku mendeskripsikanmu dalam baitku, masih ku temui warna merah jambu yang menghidupkan tulisanku. Bahkan lukaku yang tentang kamu bisa menjadi sesuatu yang luar biasa untuk ku baca. Dan kali ini, saat aku mulai mengetik nama lain dalam benakku, hilang sudah merah jambu dalam hatiku. Tak ada cinta, pikirku.
Aku tak bisa menulis dengan sentuhan hitam-putih, aku butuh kamu untuk mewujudkan pelangi dalam bait puisiku, atau senja dalam cerita pendekku, atau bahkan galaksi untuk mendampingi bait-bait buku harian yang akan ku tulis demi mendeskripsikan bahagianya diriku jika memilikimu. Bodohnya, itu hanya hayalanku, hayalan pelukis kecil di atas bait puisi sepertiku. Ah, kali ini aku bukan sedang kehilangan tokoh pria favoritku, tapi aku kehilangan kamu. Lihatlah aku kehilangan sentuhan dalam tulisanku karena aku kehilangan kamu. Kamu yang selalu aku tulis menjadi kamu dalam setiap bait puisiku, atau paragraf cintaku.

Bagaimana, menurutmu?



Ah, rupanya aku hanya seorang gadis kesepian bagimu.
Aku bodoh ya? Mencintai seseorang yang sedikitpun ternyata tak pernah menyadari arti dirinya untukku. Jadi, kau berpikir selama ini aku mencarimu hanya karena aku kesepian ya? Nasibku tak semalang itu. Aku bisa saja memilih siapapun yang mengulurkan tangannya untukku, jika memang aku sebutuh itu pada sosok untuk melengkapiku. Nyatanya, aku sudah lengkap, tanpa ataupun ada orang lain di sisiku, tak juga kamu. Bukan aku mau meninggikan diriku, tak taukah kamu? Ada banyak pria yang datang dan pergi seenaknya di hidupku, ah atau sebut saja aku jarang menolehkan pandangku pada mereka sehingga satu persatu jatuh dan gugur kemudian pergi tanpa sepenggal katapun ku dengar lagi. Jika memang kesepianlah alasanku aku takkan membiarkan satupun dari mereka untuk gugur dan mati seperti itu.
Nyatanya, aku membutuhkanmu. Bukan untuk melengkapi kesepianku. Aku membutuhkanmu, karena aku benar benar mencintai sosokmu – atau yang kamu sebut bayanganmu. Bisakah kau lihat aku? Aku yang tanpa pernah bermaksud mejatuhkan diriku untukmu, aku yang tak pernah berpikir akan sejatuh cinta ini padamu, aku yang dengan bodohnya selalu menanti kabarmu hingga larut menyelimuti bumi, aku yang teresenyum saat kau pamit menjemput kekasihmu, aku yang sabar untuk menyebutmu temanku sedangkan hatiku selalu berteriak aku mencintaimu, aku, aku, aku, aku yang dengan senang hati menerima keluhmu, aku yang tak ingin menuntut apapun darimu selain kabar bahagia darimu, aku yang mengirim berpuluh puluh pesan singkat walau ku tahu terkirimpun takkan pernah, aku yang berteriak kegirangan hanya karena melihat laporan pesan singkatku terkirim untukmu, aku yang tertidur memegang ponselku dan tersenyum karena pesan singkatmu, aku yang tergila gila suaramu, aku yang tak sabar bisa bertemu denganmu, aku yang gugup setengah mati saat akan melangkahkan kaki beriringan bersamamu, aku yang pulang dengan senyum terkembang dan memoir tentangmu mengalir dengan indah dalam benakku, aku yang mencintaimu tanpa syarat, aku yang menangis karena kau pergi dari sisiku, aku yang berpura pura membencimu, aku yang berpura pura merelakanmu, aku yang menangis dengan menulis semua ini, aku yang menghawatirkanmu, aku yang lagi lagi mengutuk diriku karena terus mempedulikanmu, aku, aku, aku, aku yang takut untuk benar benar kehilanganmu, aku yang kau tinggal pergi dangan alasan tak ingin menyakitiku, aku yang pada akhirnya sadar – akulah yang membutuhkanmu.
Mungkin aku memang sekesepian itu. Atau, aku yang sejatuh cinta itu.

Minggu, 01 November 2015

Bolehkah aku Menemanimu dengan Cara-Cara Sesederhana Ini?



Aku ingin menikmati hariku, bersamamu – siapapun kamu yang akan menemani langkahku nanti, dengan cara cara sederhana – sesederhana daun jatuh tertempa hembusan angin;
Bolehkah aku meminta ini?
Aku ingin bangun dengan raut kantuk dan tersenyum melihat sapa pagimu di layar ponselku, tak perlu panjang, cukup selamat pagi dengan kesan termanis, karena dengan itu aku tahu aku ada di benakmu. Atau sebuah sapa dari seberang sana dengan erangan mengantuk, akan membuatku seharian tersenyum dan menikmati hariku.
Aku tahu, mungkin kamu atau aku akan memiliki kesibukan yang berbeda, waktu yang berbeda, aku takkan menganggumu dengan banyak pesan dan mencari perhatianmu, namun bolehkah aku sekedar mendengar kabarmu? Kirimkan aku pesan singkat namun sungguh sungguh. Akan kubalas dengan manis, tentu saja. Akan ku nanti waktu luang bersamamu.
Aku ingin menikmati hari Minggu bersamamu, berdua, menonton TV sampai kurasa aku mual karena bosan melihat tayangan yang itu itu saja, menyandarkan kepalaku di dadamu sambil menyuapimu snack keju berbentuk cincin yang ku gemari, menguap manja dan berkedip kepadamu. Menggodamu dengan mengganggumu yang sedang sibuk memainkan game kekanakan di ponselmu. Memasakkan makan siang untukmu, kita makan duduk di lantai dan saling bercanda. Bersepeda hingga kakiku pegal, berlari, menyiram tanaman dan saling kelelahan.
Bagaimana dengan berjalan jalan? Mendengarkan musik dan bernyanyi – aku tahu suaraku tak pernah terdengar merdu, seberapa besarpun usahaku. Lalu kau akan mencubit hidungku, karena kau pikir aku begitu berisik. Lalu kita duduk berdua, menikmati alam ciptaanNya, bercerita – saling bercerita, mendengarkan, tertawa, saling menyela, melempar kacang, hingga kita lupa waktu, yang tadinya terlihat cerah kini mulai menjingga, namun kita masih tak mau berhenti berbicara dan tertawa. Membuat lelucon dan mengolok masing-masing, lalu terdiam – dan dalam pikiran kita masing masing sedang saling mensyukuri apa dan siapa yang sedang kita genggam tangannya, berharap ini takkan berakhir, lalu kita saling tatap dan tersenyum, lalu tertawa terbahak bahak mengingat semua yang kita lalui.
Aku begitu ingin menghabiskan waktu, dengan siapapun kamu nantinya dengan cara cara yang sederhana. Bolehkah aku?
Aku ingin mendengarkanmu membacakanku beberapa bait puisi dengan kepalaku di pangkuanmu, memberikan kecupan kecupan kecil saat kau melihatku dan berfikir aku begitu menawan. Aku ingin duduk bermalas malasan saat hujan, bermain monopoli, bermain kartu dan bertabur bedak. Mendengarkanmu bermain gitar dan menyanyi dengan suaramu, tentu yang paling aku sukai. Membacakanmu beberapa kutipan dari buku buku favoritku, lalu kamu akan mengomentarinya dengan wajah nan bijakmu, lalu aku akan memukulmu dengan bantal dan berlari memelukmu, mengecupmu dan tersenyum.
Aku juga ingin menari dan berlari bersamamu saat hujan datang, lalu kita akan menggigil kedinginan, berharap pelangi datang. Kita akan tertawa dalam pelukan, tanpa kata dan kalimat terlalu panjang untuk mengungkapkan perasaan – namun kita telah tahu, betapa besar arti kita dalam masing masing benakku dan benakmu.
Dan saat kita dalam jarak dan sudut terjauh kita, izinkan aku sesekali memencet beberapa angka dan menelponmu. Mungkin aku akan sedikit mengganggu tidurmu, lalu kau akan menguap namun  tetap menjawab telponku, kau tersenyum di seberang sana – menyadari betapa sedang merindunya gadis kecilmu. Lalu dengan puas aku akan munutup telponku dan melanjutkan tidurku. Esoknya kau akan membangunkanku dengan hal yang sama, lalu kita akan saling berbicara – bercerita, iya sesederhana itu aku ingin menikmati hariku bersamamu, berbagi cerita – dan saling mendengarkan.
Dan di saat yang tepat nanti, aku ingin menikmati hariku bersamamu dengan cara cara yang masih sederhana. Aku ingin terbangun dan melihatmu masih tertidur dengan pulasnya di sisiku, lalu ku kecup kau dan kugelitik – mengingatkan kau harus bekerja dan menafkahi istrimu. Atau kau akan terbangun terlbih dahulu, membisikkan bahwa mentari sedang menantiku untuk terbangun dan menggilitik hidung awan awan kecil dengan aroma sedap masakanku dan manisnya kopi buatanku. Dan sesederhana itu pula kuingin kau menikmati harimu bersamaku.
Dan padaakhirnya nanti, di masa tuaku bersamamu, saat tak ada lagi yang mampu kita lakukan, saat hanya ada aku dan kamu duduk bersandar di kursi yang nyaman, aku masih ingin menikmati hariku bersamamu dengan cara yang sederhana, sesederhana kau bercerita tentang bagaimana kau menemukanku dan bagaimana kau bahagia karena memilihku, lalu aku akan mengecupmu dan akupun akan bercerita tentang hal yang sama, bagaimana bersyukurnya aku telah dipertemukan dengan pria sepertimu.
Aku ingin menikmati hariku bersamamu, sesederhana ini. Bolehkah aku?
Teruntuk siapapun kamu – yang nanti akan menemaniku.
Ditulis dengan senyum penuh harap,
Dari seseorang yang akan menemanimu, nanti.