Blogger news

Life is like camera. Focus on what's important. Capture the good times. Develop from the negatives. And if things don't work out, just take another shoot

Sabtu, 14 Februari 2015

Toko Sepatu



Hari ini di tengah hujan yang mengguyur manis tiba-tiba aku ditarik menuju sebuah memori, dimana aku dan kamu sedang duduk bersanding berdua di atas sebuah bangku di tengah toko sepatu. Bukan tempat yang lumrah untuk berbincang. Di tengah puluhan bahkan ratusan pasang sepatu, kita saling bertukar kata. Sesekali ku curi tatapan ke arah wajahmu yang sekiranya pernah dan kadang-kadang masih menghiasi lamunan liarku, mimpiku, bahkan tiba-tiba muncul saat ada adegan romantis di serial drama Korea yang membuatku tersenyum sipu-sipu. Kamu pujaan hatiku. Ah tapi aku bukan kekasihmu.
 Aku tersenyum kecil mengingatnya. Bukankah semesta sangat baik kepadaku? Semesta mengirimkan hujan untuk menjebak kamu dan aku di tengah toko sepatu. Aku sedang tersenyum memandangimu saat kamu sedang asik memainkan ponsel-mu, lalu aku memalingkan wajahku takut kau menangkap basah aktivitas ilegalku. Aku masih penggemarmu. Aku menikmati setiap detik yang semesta sediakan kepadaku melalui hujan derasnya siang itu. Aku dengan riang berbincang denganmu, tentu saja takkan kusia-siakan waktu yang berharga itu. Kamu tahu? Aku bahagia. Aku dengan sangat terpesona mendengarkan setiap kata yang kamu ucapkan, sampai pada akhirnya aku mendengarkan hal yang sedikit menggeser rasa syukurku. Aku sedikit kaku, mungkin cemburu, tapi tentu itu salahku. Bukankah kau memang bukan milikku?
Kau bercerita tentangnya, yang selalu baik di matamu. Lalu ada dia yang lain, yang membuatku semakin tahu, aku hanya seseorang yang berada jauh di luar kehidupanmu. Senyumku memudar,itu alasanku memalingkan wajahku ke arah sepatu-sepatu yang tertata rapi di sebelah kiriku. Aku tarik dalam-dalam nafasku, aku bersiap kembali untuk memainkan peranku sebagai temanmu, bukan seseorang yang sangat menginginkanmu. Semua itu sudah berlalu seminggu, kini hujan kembali datang bersamaku. Tapi kali ini aku sedang sendiri, menggulung kakiku di bawah selimut hangat warna biru favoritku. Tiba-tiba aku mengingatmu dan semua pasang sepatu sore itu. Ada yang datang menghampiriku, seakan menyadarkanku, mungkin seharusnya aku merelakanmu.
Malam ini pula semesta sedang ingin menyadarkanku tentang satu hal dari memori yang ia mainkan dalam benakku. Sore itu kita sedang berjalan dari satu toko ke toko yang lain, dari satu rak ke rak yang lain, memilih satu sepatu dan menimbang-nimbangnya. Di sebuah rak ada kalanya kita berhenti untuk melihat lebih jeli kearah sepatu yang tak sengaja menarik lensa mata kita untuk memperhatikannya, di rak yang lain kita hanya mengabaikan sepatu sepatu yang tertata rapi diatasnya, adakalanya kita berhenti karena ada satu sepatu yang benar benar kita inginkan namun tak bisa kita miliki – terlalu mahal, kekecilan dan kebesaran, ada pula saatnya kita menemukan yang pas di kaki kita namun kita tak benar benar menginginkannya, dan mungkin pada akhirnya kita menemukan yang pas di mata dan nyaman di kaki kita. Dari semua perjalanan kita, yang kita inginkan hanya mendapatkan satu sepatu yang pas dan nyaman untuk dikenakan, membuat kita tersenyum dan bangga memilikinya.
Aku tahu, selayaknya sedang memilih sepatu, manusia punya hak untuk memilih pasangan hidupnya. Dan itu yang menyadarkanku. Mungkin kamu memang menarik hatiku dan aku benar benar menginginkanmu, namun aku tak bisa memilikimu. Aku tak bisa memaksakan kakiku mengenakan sepatu yang terlalu kecil karena itu akan menyakitiku, aku tak bisa memilih sepatu yang terlalu besar untuk aku kenakan di kakiku karena ia akan sering terlepas dan mungkin aku akan kehilangan sepatuku, dan aku takkan bisa memilih sepatu yang terlalu mahal karena aku tak mampu membelinya. Seperti itu, semenarik apapun kamu untukku aku harus menyadari kamu bahkan tak mampu untuk aku miliki, bukan karena kamu akan menyakitiku atau hilang, namun karena aku tak semampu itu untuk mendapatkan kamu yang seberharga itu. Dan aku takkan pernah mejadi yang pas untukmu, karena aku hanya salah satu sepatu di sebuah rak yang hanya kamu lewati tanpa kamu lirik, bukan karena aku terlalu kecil atau terlalu besar untukmu, tapi aku bahkan bukan sepatu yang sedang kamu cari.
Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan, aku takkan mengatakan manusia selayaknya sepasang sepatu, karena sepatu hanyalah sepatu jika tak ada kaki yang mengistimewakan. Manusia lebih mirip dengan kaki dan sepatu yang ia kenakan. Mungkin mata bisa menang memilih, namun kaki yang tetap akan menentukan. Mungkin manusia bisa ditipu oleh mata, namun hati tetap yang akan menemukan.


Dari sepatu yang tak pernah kamu inginkan,
semoga sepatu yang kamu kenakan bisa selalu membuatmu nyaman.