Blogger news

Life is like camera. Focus on what's important. Capture the good times. Develop from the negatives. And if things don't work out, just take another shoot

Senin, 26 Januari 2015

5 Tahun Lagi, untuk Gerimis Romantis?



Jadi,
Aku sedang duduk sendiri
bukan sedang meratapi,
Aku hanya sedang menikmati
tiap tetes rintik hujan sore ini.


Ada yang sedang menari-nari.


Ada yang jatuh,
lalu jatuh lagi.
Ada yang jatuh,
lalu dengan senang hati pergi.


Ada yang sedang menari-nari.


Mereka rintik kecil hujan sore ini,
mereka pelaku utama keindahan ini,
mereka rintik kecil gerimis sore ini,
mereka sepercik air yang membasahi
dedaunan sore ini.


Lalu, ada yang menari-nari.


Mereka khayalan liar dalam benakku,
mereka seperti sedang bermain peran dalam masa depanku
5 tahun lagi,
ada wanita serupaku
sedang duduk persis sama sepertiku
dengan cangkir teh di tangan kanannya
sama sepertiku,
Ia sedang tersenyum
menatap rintik rintik gerimis
sore itu.


“Ada yang menari-nari.”, katanya.


Ditengoknya samping kanannya,
tersenyumlah dia.
oh bahagianya.
wanita serupaku, sedang duduk
dengan pria
yang sedang kuharapkan
menemani sisa hidupku.


Jadi, 5 tahun nanti. Akankah kanda
di sini?
untuk secangkir teh sore hari
bersama rintik hujan
yang menari-nari?

ditulis degan sebuah khayalan manis, saat sedang memandangi mendung langit sore ditemani rintik yang sedang menari.
bersama secangkir teh, semanis khayalan.

bersamamu, khayalan.

retno sulistia
januari 2015.

Sabtu, 03 Januari 2015

Analogi (mini) Sebuah Penantian.


RATU
Aku sudah lama memandangi senyumya. Aku sudah lama menikmati renyah tawanya. Aku sudah lama memujanya lewat tatap mataku. Aku sudah lama menyebut namanya di setiap doa doa kecilku. Aku sudah lama, menantinya.
Malam ini risauku memecah hening malam yang dingin. Pertahananku goyah. Untuk sepersekian detik pikiran itu merambah masuk ke otakku. Tidak, tentu apa yang aku pikirkan takkan pernah aku lakukan. Aku pernah melakukannya, sekali, dua kali, tiga kali, namun berakhir kecewa. Takkan kusakiti lagi hatiku.
“Yaampun, masa sih aku harus sms dia. Ga mungkin. No. Nggak. Ga boleh, Ratu.” Aku berdialog dengan diriku sendiri. “Tapi aku mau, aku cuma pengen tanya kabar. Ah nggak, nggak lah. Tapi aku mau.” Aku hampir saja menangis. Entah akhirnya jemariku mulai menyentuh nyentuh layar touchscreen ponselku, ku ketik nama yang hampir saja beberapa bulan ini aku coba lupakan, Ksatria, dia teman kuliahku, aku menjatuhkan hatiku kepadanya sejak pertama aku mengenal dia atau sebut saja senyumnya, tapi ku rasa hatiku takkan pernah ditangkap oleh hatinya, aku jatuh sendiri. Aku ketik beberapa kata, kuhapus, ku ketik lagi, ku hapus dan terus menerus seperti itu. Ah entahlah, aku tau aku takkan pernah berani. Yang aku tau, dia takkan pernah menghubungiku dulu, dan yag selalu aku tahu aku pernah lebih berani daripada ini dan mendahului untuk sekedar sms dan menyapanya, tapi aku gagal. Aku menyerah. Dan aku mencoba melupakan. Tapi nyatanya, malam ini, perasaan itu masih ada.
Risau ini begitu menggangguku, aku takkan pernah berani untuk menyapanya dan aku tau ia takkan pernah menyapaku. Aku tau, aku pun tak boleh lagi berpikir sedikitpun untuk mengenangnya, bahkan memikirkannya harusnya pun aku tak boleh, sudah seharusnya aku melupakan. Aku berangan, melamun dan tertidur dalam buaian rasa rindu yang bahkan aku tak tau akan terbalas atau tidak. Aku menanti yang aku tau tak pernah datang, namun aku tetap menanti.
KSATRIA
Aku sudah lama menahan ini semua, aku sudah lama mendiamkan ketertarikanku akan senyumnya, aku sudah lama memendam yang seharusnya aku ungkapkan, aku sudah lama menutupi rasa yang seharusnya aku berikan, aku sudah lama menantinya.
Malam ini mataku tak beralih sedikitpun dari layar ponselku, entah mengapa ingin sekali kulihat namanya keluar di layar ponselku. Sudah berapa lama ya dia melupakanku, sudah berapa lama namanya tak muncul di layar ponselku, sudah berapa lama dia tak menyapaku. Ah risau.
“apa kamu sudah melupakanku, Ratu?” aku berdialog dengan diriku. “apa kamu sudah tak ingin lagi menyapaku? Atau sekedar bertanya mengenai mata kuliah seperti dulu lagi? Ah aku ta mungkin meng-sms mu duluan, untuk saat ini, ngga mungkin Ratu.” Aku sudah tak tahan lagi, beberapa kali keinginan untuk menghubunginya duluan terlintas dipikiranku, tapi aku tahu itu takkan pernah ku lakukan. Ratu adalah teman kuliahku, dia seorang gadis yang menyenangkan, melihatnya tertawa seringkali membuat hatiku membuncah, dia pernah mengatakan perihal hatinya kepadaku, tapi aku belum siap. Aku mendiamkannya, tapi hatiku menumbuhkannya, aku menikmati saat ia mencari cari sesuatu untuk sekedar menghubungiku lewat sms, aku menikmati saat aku menemukan ia juga terjaga saat aku bangun untuk shalat malam dan mengajaknya turut serta walaupun semua itu berlalu lewat sms. Tapi kurasa aku menyakitinya, dia pergi, aku hanya bisa menanti suatu saat nanti dia hadir kembali, saat ini rasa itu begitu besarnya, aku ingin sekali mendapat sapamu, Ratu. Tapi aku tau, kau takkan melakukan itu saat ini, aku mencoba merelakan. Namun nyatanya, aku masih berharap.
Risau ini begitu menggangguku, tak bisa ku tahan lagi, aku berdoa untuk kehadirannya, doa yang seharusnya tak aku senandungkan, aku tau bahkan aku tak boleh meski hanya sekedar memikirkannya, apalagi menginginkannya. Lalu aku berangan, berandai andai dan tertidur dalam buaian rasa rindu yang aku endam sendiri sakitnya. Aku tau kau takkan hadir lagi, namun aku menanti, masih menanti sebuah ketidak mungkinan yang selalu aku semogakan.
KSATRIA dan RATU
Pagi itu udara pagi sangat menyegarkan, matahari bersinar sekan mengikis rasa risau dua hati yang saling menanti, keduanya tetiba saja sudah berada di lantai yang sama. Terlihat keduanya sedang berbincang dengan masing masing temannya.
Sekilas dan sesekali ditengah obrolannya ratu menoleh kearah Ksatria, dilihatnya Ksatria  sedang tersenyum dan tertawa sesekali, Ratu tertegun, “ah senyum itu, kapan sih tak menjatuhkanku.” Lalu dengan enggan Ratu kembali kedunianya, berbincang dengan teman temannya. Ksatia menoleh kearah Ratu, ia lihat Ratu sedang tertawa renyah dan asyik bercanda, Ksatria berbisik lirih, “kapan kah kamu bisa berbagi tawa itu bersamaku, Ratu.” Dan dengan sedikit alot ia kembali ke dunianya sendiri. Setelah beberapakali saling mencuri pandang dan menyipan senyuman, tatapan mata keduanya dipertemukan, senyum simpul akhirnya tak bisa mereka elakkan. Mereka saling menyapa, saking tersenyum, saling memandang, namun tak lama, mereka kembali memisahkan tatap mereka.
“Haruskah penantian ini aku lanjutkan atau memang sudah saatnya aku hentikan?” Ratu menghembuskan nafasnya dan menjauhkan tatap matanya dari Ksatria, sedetik kemudian ia lihat Ksatria tak lagi menatapnya.
“Entah haruskah aku melanjutkan rasaku dan menantinya atau harus aku lepaskan semua ini untuk aku tinggalkan.” Ksatria mengalihkan pandangannya dari binar raut muka Ratu, menunduk sedih.
Tiba tiba Ratu merasakan sentuhan di pundaknya, Ratu tersenyum. “hai Ratu, ayo sarapan.” Sapa suara berat lelaki kepada Ratu. “ayo, aku laper.” Ratu mulai meraih tangan lelaki itu, tersenyum, dan menggandengnya. Raden mencubit lengan Ratu gemas, “sayang ngelamun apa tadi?” katanya. “ah enggak.” Kata ratu malu malu. ‘ini jawabannya, seharusnya memang aku tak lagi menanti seorang yang tak bisa kunanti, aku sudah memiliki dia yang selalu ada, dan seharusnya aku juga selalu ada.’ Ratu tersenyum, ia menengok kearah Ksatria, dan tekadnya membulat, untuk tak lagi menanti.
Ksatria sedang menoleh kearah Ratu saat ia melihat Raden datang dan menyentuh pundak Ratu,ia melihat senyum di wajah Ratu, ia tau, itu alasan Ratu berhenti mencarinya, itupun juga alasannya memendam rasa rindu kepada Ratu. ‘aku tau, ia takkan lagi menanti, tak seharusnya juga aku menanti, aku akan berhenti. Aku rela.’ Ksatria tersenyum, dipandanginya Ratu dan Raden yang sedang berjalan beriringan, tekadnya membulat, ia akan melupakan dan berhenti menanti.
Seandainya mereka tau, mereka saling menanti, namun nyatanya mereka tak ditakdirkan untuk saling memiliki.