Blogger news

Life is like camera. Focus on what's important. Capture the good times. Develop from the negatives. And if things don't work out, just take another shoot

Sabtu, 16 Februari 2013

Secangkir Gerimis di Sepotong Sore Bulan Desember.



Aku tersenyum melintasi hangatnya jalanan beraspal. Tak terlalu ku pedulikan terik sang matahari menggelitik pori pori tubuhku, hempasan angin pembawa debu kuacuhkan begitu saja. Ada yang lebih penting, menungguku.

Ku tunggangi kuda besi ini menuju pemberhentian bis di kotaku, pangeranku menanti. Ups, tapi aku bukanlah kesatria atau seorang penjelajah yang seluruh jalanan kota tercetak kuat di otaknya. Ada yang aku lupakan, aku tak tahu jalan! Bodoh.

Dengan sedikit keraguan, dan perasaan ingin segera berjumpa membuat adrenalinku mendorong seluruh kecerobohanku untuk tak mempedulikan pikiranku, yang kutahu jalanan yang akan kulewati akan membawaku kesana, ketempat pangeranku sekarang berada.

Berjalan, terus terus terus dan terus. Kenapa tak kutemukan terminal itu? Hanya ada istana beton bertingkat menjulang di sisi jalan yang kulewati. Deringan di kantongku, erangan ponselku telah menandakan bahwa pangeranku mulai geram menungguku. Aku panik.

Langit mulai menghitam, seperti roti yang terolesi selai coklat. Enak?

Ah, setetes dua tetes air kecil itu mengenai wajah kusamku. gerimis! panik! Tuhan, bantu aku, jeritku dalam hati.

Rintikan kecil itu sekarang bertransformasi menjadi serangan peluru peluru air, tanpa pelindung sungguh saja wajahku seperti tertusuk tusuk jarum. Namun, pangeranku tak mengerti seberapa paniknya aku. Ancaman ancaman kecil itu mulai menggangguku, air itu menetes indah dari bendungannya dimataku, tersamarkan oleh hujan.

Aku hanya ingin menjemputnya, seperti janjiku.

Tapi Tuhan memberikanku ujian kecil untuk menjemput senyumku. Ah, jalanku di belokkanNya menjauihi tempat seharusnya. Aku tersesat.

Pangeranku masih saja tak mengerti, aku tahu dia lelah. Tapi, aku juga sedang khawatir, panik, entahlah membuatku semakin gusar. Aku menggila di tengah keramaian kota. Airmataku entahlah dia mengalir sederas hujan.

Rintikan itu mulai berhenti, namun guliran air di wajahku masih enggan untuk tak mengalir. Udara hangat sore mulai terasa menyapa kulitku lembut. Kuhempaskan nafasku saat aku telah menemukan terminal buluk itu. Lalu, dimanakah pangeranku?

Ah! Sial, ini pintu keluar. Ponselku kembali mengerang, diseberang sana pangeranku sudah teramat gusar. Tapi aku tau, dia masih menungguku. Marah? Tentu saja dia marah. Aku panik kembali, tersadar olehku, rintikan kecil itu mulai datang lagi dari arah lagit biru itu. Dan, aku segera memacu kuda besiku lagi menjemput pangeranku.

Dengan wajah muramnya, kulihat ia sedang berdiri di tepi jalanan berdebu itu. Sebenarnya, aku ingin segera memeluknya menuntaskan rasa rinduku. Tapi entahlah, aku gengsi. Dia memarahiku dengan celoteh pedasnya lewat semua pesan singkatnya. Aku ingat, aku kesini untuk menjempunya, kupersilahkan orang yang sangat ku cintai ini untuk naik di kuda besiku.

ah, dia memang pangeran.

Gerimis mulai menyapa lagi, berteman dengan angin sore. Aku mulai tersenyum, aku tau pangeranku juga merindukanku. Aku sang pengemudi, dan memboncengnya di belakangku. Aku merasakan pelukan hangatnya dari arah belakang tubuhku. Aku tau, dia merindukanku. Aku tersenyum, melihat wajahnya dari arah kaca spionku.

Melewati jalanan bersama dengannya, menerjang hujan. Ah! Sore hari di Desember yang indah. Surabaya kota yang akan menjadi saksinya.


*perjalanan kecil, menjemput Tuan Pembuat Rindu.
Surabaya, Desember 2012.

Kutulis di tengah hujan dikota Bangil, dengan mengingatmu.
Sungguh, aku merindukan memandang senyummu dari arah kaca spion motorku <3